Kamis, 31 Mei 2018

SUNAN GIRI DARI MASA KE MASA - 1


[Penulis : Muchammad Muchlas Naskah ini tertulis pada th.1999, tidak diterbitkan, namun diserahkan sebagai bahan literasi penulisan buku Grissee Tempo Doeloe pada th.2003].

Daftar isi :
1. Garis Keturunan Indo Arab China
2. Tantangan di Usia Dini
3. Mengukir Prestasi Belajar
4. Inspirasi Kepelabuhanan
5. Membangun Keluarga
6. Perjuangan Politik
7. Menyiapkan Lahan
8. Mendirikan Pesantren
9. Mendirikan Kerajaan
10. Membuat Tata Ruang Strategis
11. Menciptakan Budaya Pluralisme
12. Inspirator Persatuan dan Kesatuan Umat
13. Menjadi Bapak Kota Gresik

1. Garis Keturunan Indo Arab China

Memang bukan suku asli dari suku - suku yang ada di bumi nusantara ini. Alkisah tentang leluhur sunan yang nasab silsilahnya dari keturunan Arab yang berada di Gujarat. Ia yg bernama *Jamaluddin Husein al-Akbar*. Ia masih keturunan dari Alawi yang bermukim di Hadramaut. Lalu ia merantau ke negri kamboja (China) dan membangun keluarga besar disana. Siapakah ia? Ternyata ia adalah kakek buyut Sunan Giri yang telah bersemayam di Bugis Wajo Sulawesi Selatan. 

Ceritanya begini. Dalam sejarah perjalanan hidup tokoh - tokoh Islam selalu disebutkan ada para saudagar muslim yang berjuang untuk kehidupan sosial pada jaman itu. Jaman jadul bila diukur dengan jaman now. Pantas disebut saudagar sebab pada jaman jadul itu belum ada pabrik dan buruh pabrik. Orang - orang yg mampu menjaga kualitas hidupnya akan selalu memilih berprofesi sebagai saudagar. Termasuk Jamaluddin Husein yang tergolong sukses dalam mengurus perniagaannya. Maka jangan heran bila ia kadang harus menjadi ekspatriat dari gujarat ke negri kamboja, dan dari kamboja ke negri nusantara ini.

Sekali dayung dua pulau terlampaui. Jamaluddin Husein selain berniaga juga memiliki misi - misi sosial politik pada jaman itu. Ia juga mengembangkan propaganda Islam kepada beberapa petinggi nusantara. Istri Jamaluddin Husein yang berasal dari keturunan China itu sangat menunjang keberhasilannya dalam menjalin komunikasi politik kepada majapahit. Tiga putra terbaik jamaluddin semuanya menikah dengan putri - putri keturunan china. Tiga putra jamaluddin itu adalah :
1. Barakat Zainil Alam menikah dengan Putri dari Kamboja.
2. Ibrahim Alghozi As-Samarqondi menikah dengan Putri dari Campa.
3. Ali Nurul Alam menikah dengan Putri dari Siam.

Kisah perjalanan Jamaluddin Husein ke negri Nusantara ini terjadi pada sekitar abad ke 14 masehi. Saat itu yang menjabat sebagai Raja di Majapahit adalah Prabu Wijaya Kertarajasa. Namun tiga putranya masih berada di negri kamboja. Kecuali cucunya yang bernama Malik Ibrahim bin Barakat Zainil Alam yang ikut menyusul ke negri nusantara ini sekitar tahun 1379 masehi (8 tahun setelah Jamaluddin) dan bermukim di Sembalo Leran dekat dermaga Jortan manyar gresik. Berarti antara kakek dan cucu berada pada wilayah mukim yg berbeda dan berjauhan. Janaluddin Husein memilih wilayah mukim di Bugis Sulawesi, dan Malik Ibrahim memilih wilayah mukim di manyar gresik Jawa Timur. Keduanya bermukim di wilayah yang berbeda hingga akhir hayatnya. Jamaluddin Husein bersemayam di Bugis Wajo dan Malik Ibrahim bersemayam di Gapura Gresik pada tahun 1412 masehi setelah beliau mendirikan surau untuk da'wah Islam yg diberi nama Langgar Sawo dekat pantai laut gresik.

Giliran berikutnya yang datang ke bumi nusantara ini adalah putra Jamaluddin Husein yang bernama Ibrahim al-Ghazi as-Samarqondi sekitar tahun 1419 masehi saat Jamaluddin Husein dan Malik Ibrahim sudah wafat. Ibrahim Al-Ghazi ini adalah kakek dari Sunan Giri. Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishaq. Dan Maulana Ishaq adalah putra dari Ibrahim al-Ghazi ( : dikenal dengan nama Asmorokondi). Saat itu Ibrahim al-Ghazi tidak sendiri. Ia datang bersama dua putranya yaitu Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Ali Murtadho (Raden Santri Gresik). Satu lagi putra tertuanya yang tidak ikut yaitu Maulana Ishaq (ayahnya Sunan Giri). Saat itu Maulana Ishaq masih bermukim di Kamboja. Ibrahim al-Ghazi bersama dua putranya itu memilih tempat mukim di daerah Gisik yg tidak jauh dari pantai Lamongan dan Tuban. 

Pada sekitar tahun 1448 masehi putra Ibrahim al-Ghazi yang bernama Rahmatullah mulai merencanakan suatu ekspansi mandiri. Ia memilih bermukim bersama sahabat - sahabatnya di wilayah dekat pantai Surabaya yaitu di sebuah perkampungan Ampel Dento. Hingga ia menjadi tokoh agamawan dan mendirikan Masjid dan Pesantren Ampel yang tersohor sebagai pusat pendidikan Islam di Jawa pada abad 15 itu. Ia mendapat gelar sebutan Sunan Ampel. Sunan Ampel adalah paman Sunan Giri.

Tak mau kalah dengan sikap kakaknya yang lebih awal untuk mandiri, akhirnya adik Rahmatullah yg bernama Ali Murtadho ikut menempuh hidup mandiri dan berpamit kepada Ibrahim al-Ghazi untuk membangun kehidupan baru di wilayah dekat pantai laut Gresik. Ia juga mengembangkan perdagangan di wilayah gresik pesisir itu sambil berda'wah melalui pengajaran Islam meskipun tidak sebesar kegiatan yang dilakukan oleh Rahmatullah. Bahkan ia tergolong tokoh yang dihormati oleh masyarakat pesisir Gresik. Ia diberi gelar oleh masyarakat sebagai Raden Santri dan Pandito Wunut. Ia mendapat gelar itu karena akhlaknya yang santun dan aktifitasnya yang tekun dalam mengajarkan keislaman kepada masyarakat Gresik.

Di saat itu putra tertua Ibrahim al-Ghazi yang bernama Maulana Ishaq juga mengadakan perjalanan ke negri nusantara ini. Ia berlabuh di pantai surabaya dan menuju ampel dento untuk menemui adiknya yang bernama Rahmatullah (Sunan Ampel). Atas motivasi Rahmatullah, akhirnya Maulana Ishaq bergeser menuju wilayah pantai laut Banyuwangi. Rupanya selain melakukan ekspansi niaga juga ada motiv pengembangan Islam ke wilayah yang masih dalam penguasaan Kerajaan Blambangan. Disitu kekuasaan politik harus diperhitungkan agar tidak menjadi dilematika dalam pengembangan niaga. Selain itu juga untuk kepentingan pengembangan Islam yang masih minoritas maka kekuatan politik harus diperhitungkan agar tidak menjadi kendala antagonis yang bisa berakibat fatal bagi pengembangan Islam di Jawa.

Alkisah mungkin sudah menjadi suratan Ilahi. Maulana Ishaq berhasil menembus jalur komunikasi ke istana kerajaan Blambangan. Ia akhirnya menjadi sahabat dekat patih kerajaan yang bernama Bajul Senggoro. Maulana Ishaq yang berdomisili di bukit Selangu itu memiliki keterampilan meracik obat - obatan herbal dari tanaman toga yang ada di bukit itu. Hingga suatu saat dibutuhkan oleh Raja Blambangan untuk meracikkan obat saat putri Raja yang bernama Dewi Sekar Dadu itu sedang sakit. Pertemuan Maulana Ishaq dengan Prabu Minak Sembuyu akhirnya terjadi pada suatu hari yang telah disepakati. Maulana Ishaq membawakan obat racik untuk Dewi Sekar Dadu. Dan berkat obat racikannya itu akhirnya Dewi Sekar Dadu sembuh dari sakitnya. Kecocokan obat itu akhirnya membuahkan perjodohan Dewi Sekar Dadu dengan Maulana Ishaq. Lantaran sebelumnya konon Prabu Minak Sembuyu pernah mengumumkan janji kepada siapa yang bisa menyembuhkan sakit putrinya itu maka ia akan dijodohkan dengan Sang Putri Raja. Ternyata Maulana Ishaq yang bernasib mujur. Ia pun menikah secara Islami dengan Dewi Sekar Dadu. Lalu ia diberi gelar Prabu Anom pasca menikah dengan Dewi Sekar Dadu. Pernikahannya dengan Dewi Sekar Dadu itu membuahkan si buah hati yang diberi nama Raden Paku, dia lah Sunan Giri.

2. Tantangan di Usia Dini

Usia dini bagi anak - anak adalah kehidupan emas sejak ia baru lahir hingga ia berusia 6 tahun. Masa itu disebut sebagai golden age period yang dalam istilah Islam disebut masa fitrah yang sangat menentukan bagi masa depan anak. Pada masa itu peran orang tua sangat berarti bagi perkembangan jiwanya. Namun hal itu tidak sepenuhnya berlaku bagi Sunan Giri kecil. Ia pada saat itu sedang mengalami nasib yang menyedihkan. 

Saat Dewi Sekar Dadu sedang mengandung janin Sunan Giri dalam perutnya yang mulai membuncit, tiba - tiba terjadi kondisi konflik istana Blambangan dengan Maulana Ishaq. Konflik politik yang berbalut isu agama itu sedang menimpa Maulana Ishaq sebagai Prabu Anom di istana Blambangan. Ada hasutan dari para pembisik Raja Prabu Minak Sembuyu sehingga membuat kebencian Raja terhadap menantunya itu tak terbendung lagi. Terutama kebencian itu dipicu saat Maulana Ishaq sering meminta agar Prabu Minak Sembuyu meninggalkan ajaran hindu untuk segera beralih masuk Islam. Agama merupakan faktor sensitif dan bisa menciptakan konflik antar personal terutama bila sudah bercampur dengan kepentingan kekuasaan. Akhirnya konflik itu pecah dan Prabu Minak Sembuyu meminta kepada Maulana Ishaq agar meninggalkan istrinya dan istana Blambangan. Politik itu kejam, demikianlah stigma politik sejak dulu hingga kini. Cobaan ini terlalu dini bagi Maulan Ishaq dan Dewi Sekar Dadu.

Cinta sejati dari dua insan itu tak mampu menolak tekanan dan paksaan dari istana. Namun cinta sejati itu tak mau dikorbankan. Keduanya tetap teguh memegang janji suci dalam hati. Maulana Ishaq terpaksa harus pergi dari Blambangan tanpa diijinkan membawa istrinya. Hanya cinta suci yang ia bawa. Ia pergi seorang diri akibat tekanan dari istana yang sangat kuat dan tidak bisa dilawan. Hanya keikhlasan yang membuat jiwa Dewi Sekar Dadu tetap tegar merawat sendiri kehamilannya tanpa didampingi suami tercinta hingga bayi dalam perutnya itu lahir. Bayi itu pun lahir mempesona pada tahun 1443 masehi dan menunjukkan sosok bayi yang kuat. Pantas ia diberi nama Raden Paku. Paku artinya adalah penguat. Terbukti bayi itu telah membuat jiwa ibunya menjadi pribadi mulia yang kuat. Kuat dalam memegang janji suci sampai di akhir hayatnya hanya bersuami Maulana Ishaq. Padahal ia adalah wanita yang bisa memilih siapapun.

Raden Paku yang sejak usia dini telah mendapatkan cobaan dan tantangan itu tak seorang pun pada saat itu tahu bahwa kelak ia akan menjadi seorang Sunan yang dihormati dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial politik di jamannya, bahkan faktanya pengaruh yang ia miliki itu tak redup hingga kini. Lantas ia mendapat cobaan dan tantangan dini yang lebih berat lagi. Mungkin saja pada saat itu banyak orang yang berprasangka buruk padanya, ia dianggap sebagai bayi bernasib malang, padahal faktanya tidak seperti itu. 

Saat tantangan yang lebih besar itu menimpa Raden Paku di usia dini, saat itu ia dibuang ke laut oleh kakeknya sendiri yaitu Prabu Minak Sembuyu. Secara logika dan naluri manusia maka peristiwa itu sudah tidak wajar. Sikap tidak manusiawi yang dilakukan oleh Prabu Minak Sembuyu itu tentu akibat provokasi para pembisik yang berbeda keyakinan dengan Maulana Ishaq. Para pembisik itu meyakini bahwa anak dari perkawinan Maulana Ishaq dengan Dewi Sekar Dadu itu menjadi penyebab munculnya wabah endemik di lingkungan istana. Bayi tersebut dianggap sebagai bayi pembawa kesialan. Keyakinan para pembisik yang non muslim itu benar - benar telah menyesatkan pikiran dan jiwa Prabu Minak Sembuyu yang akhirnya membuang bayi Raden Paku dalam keadaan hidup - hidup ke laut banyuwangi. Saat itu sudah terjadi kekerasan dan kekejaman pada anak usia dini, dan itu terjadi pada Sunan Giri kecil.

Seringkali dalam realita kehidupan ini ada faktor - faktor abstrak yang sulit dinalar namun itu terjadi. Itulah yang dikatakan sebagai rahasia ilahi. Bajul Senggoro sebagai orang kepercayaan Raja Blambangan merasakan keheranan yang hebat saat melihat peti pembawa bayi Sunan Giri itu terus mengapung mengikuti gelombang air yang dihempas oleh angin laut. pada saat itu tiba - tiba ada perahu niaga yang menghampirinya. Salah satu awak kapal berusaha mengambil peti tersebut dan membawanya pergi berlayar. Perahu niaga itu milik seorang wanita pengusaha keturunan china bernama Ageng Pinatih. Orang - Orang china yang bermukim di negri nusantara ini memang lebih suka menonjolkan nama jawanya dibanding nama chinanya, seperti nama wanita pengusaha asal gresik itu.

Alhasil terbukti bahwa Sunan Giri kecil meskipun mendapat tantangan berat di usia dininya namun ia bukan bayi yang bernasib malang. Dengan kuasa Tuhan ia bisa lolos dari badai tantangan di usia dini. Ia selalu terjaga menjadi bayi atau anak yang bernasib mujur. Sunan Giri kecil akhirnya diasuh dan diambil anak oleh Ageng Pinatih penemunya saat terbuang di laut. Ia hidup sejak usia dini dalam keberuntungan hingga usia dewasa di kampung Kebungson Gresik bersama ibunda Ageng Pinatih. Atas keberuntungannya itu maka Ageng Pinatih memberinya nama Joko Samudro (: artinya Anak Laut).

3. Mengukir Prestasi Belajar

Belajar di waktu kecil bagai mengukir diatas batu, membutuhkan proses yang kontinyu, dan kesungguhan dalam menyelesaikan proses. Hal ini tentu tidak banyak dilakukan oleh orang - orang jawa pada jaman itu. Jaman dimana wawasan kebanyakan orang di jawa ini masih konvensional, jauh dari progresivisme. Pendidikan yang berstandar mutu bagi anak - anak pada jaman itu belum dirasakan pentingnya oleh para orang tua anak. Padahal pendidikan anak adalah penentu bagi masa depannya.

Hal yang demikian itu pasti berbeda dengan Ageng Pinatih yang hidupnya sudah progresif. Sebagai ekspatriat china yang bermukim di dekat pelabuhan sejak tahun 1399 masehi, ia berada di Gresik sebagai wanita terpandang karena kegiatan yang ia lakukan bukan kegiatan lazimnya para wanita jawa pada jaman itu. Wanita jawa yang sudah dianggap kreatif pada saat itu tak lebih hanya sebatas membantu para suami yang memiliki aktifitas di rumah. Dan ini berbeda dengan Ageng Pinatih yang banyak beraktifitas melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhan bruk Gresik. Ageng Pinatih juga memiliki usaha perdagangan umum antar pulau yang cukup besar. Ia memiliki beberapa perahu dan kapal niaga yang setiap hari digunakan sebagai sarana ekspedisi pengiriman barang se Jawa - Bali hingga ke Kalimantan. 

Ageng Pinatih adalah wanita moderen yang memiliki pola pikir jauh lebih maju daripada kebanyakan orang di jaman itu. Ia pun mengasuh Sunan Giri kecil dengan pola hidup moderen, terutama dalam hal pendidikan dini bagi Sunan Giri. Ageng Pinatih sebagai wanita terpandang saat itu sudah memiliki hubungan baik dengan guru terpandangnya yang bernama Ali Murtadho (: Raden Santri). Rumahnya tidak jauh dengan tempat tinggal Ageng Pinatih. Beruntung Sunan Giri kecil sudah dipertemukan dengan Ali Murtadho untuk belajar ngaji. Namun belum ada yang tahu pada saat itu bahwa Ali Murtadho itu adalah pamannya sendiri. Sebab Sunan Giri kecil pada usianya yang masih dini itu hanya dinilai sebagai anak laut yang ditemukan oleh Ageng Pinatih di laut Banyuwangi. Hanya sebatas itu berita yang tersiar, dan belum diketahui asal usul siapa anak laut itu kecuali hanya sebatas nama baru yang ia terima yaitu Joko Samudro.

Nama joko samudro bagi Sunan Giri kecil merupakan ilham yang menginspirasi pertumbuhan jiwanya. Arti dari nama itu seakan menjadi doktrin bagi dirinya yang identik dengan kehidupan laut. Mau tak mau ia akhirnya banyak berkecimpung dalam kegiatan melaut untuk membantu ibunya. Konon pada usia remaja awal, Sunan Giri sering beraktifitas membantu ibunya di pelabuhan gresik, hingga terdapat topografi yang diberi nama *Pulo Pancikan* karena Sunan Giri sering berada disitu (: mancik). Pulo itu dimaksudkan sebagai pengilustrasian atas lahan labuh milik Ageng Pinatih yang berada di bibir pantai. Dan pancikan itu menjadi gambaran atas gladak injak yang dipergunakan untuk naik ke kapal. Bila Sunan Giri kecil sejak usia remaja awal sudah sering berada di Pulo Pancikan itu, maka ia pantas memiliki nama Joko Samudro. Nama unik pemberian ibu asuhnya itu juga bisa diartikan sebagai Remaja (joko) yang ahli melaut (samudro) atau Taruna Laut. 

Pada saat Sunan Giri telah melewati periode usia dini dan sudah menginjak usia remaja awal, ia mulai disekolahkan oleh Ageng Pinatih di pesantren Ampel Dento dengan Guru Pengasuh Syeih Rahmatullah Sunan Ampel. Pesantren yang dibangun oleh Sunan Ampel di Surabaya itu merupakan pesantren terbesar dan terpercaya di jawa. Ageng Pinatih selaku wanita terpandang di Gresik tak ingin anak angkatnya itu tertinggal dalam dunia pendidikan. Ia menginginkan agar Sunan Giri kecil itu menjadi santri yang bisa mengukir prestasi belajarnya di pesantren ampel. Orang - Orang yang berpikiran maju memang seperti itu, menginginkan anak - anak mereka bisa menempuh pendidikan di lembaga pendidikan yang bermutu seperti pesantren dg guru pengasuh Sunan Ampel yang terpercaya itu. Disitu Sunan Giri kecil mulai mendalami ilmu agama secara lebih spesifik dengan metode literasi kitab kuning ( : qiro'atul kutub) yaitu dengan mengkaji kitab - kitab berbahasa arab karya para 'ulama salaf (:'ulama tempo doeloe) yang terbit sekitar abad 10 masehi. Selain itu Sunan Giri kecil juga belajar hidup mandiri di lingkungan pesantren yang majemuk.

Suatu hari Sunan Ampel merasakan ada hal berbeda dari pribadi Sunan Giri kecil. Ia tampak jauh lebih cerdas dibanding dengan santri - santri lain. Bahkan Sunan Giri kecil telah memiliki aura gemilang yang muncul dari sikap dan kepribadiannya, dan melebihi performance yang ia miliki. Perfornance nya saja menunjukkan bahwa ia bukan anak dari keturunan jawa biasa atau murni dari suku jawa. Namun dari mukanya sudah terbaca ia berwajah indo arab china. Sunan Ampel semakin penasaran hingga pada suatu hari ia menanyakan perihal sosok Sunan Giri kecil itu kepada ibunda Ageng Pinatih.

Pada hari itu Ageng Pinatih mengisahkan kepada Sunan Ampel tentang riwayat asli Sunan Giri kecil yang diberi nama Joko Samudro. Perihal awal mula bayinya yang terbuang di laut Banyuwangi hingga Ageng Pinatih mengasuhnya dan mengangkatnya sebagai anak. Hingga Sunan Ampel tercengang saat mendengarkan kisah itu lantaran ia teringat pesan yang pernah disampaikan oleh kakaknya yaitu Maulana Ishaq, sesudah ia meninggalkan Istana Blambangan pada beberapa saat lalu, kemudian ia menemui Sunan Ampel di Ampel Dento dan bercerita tentang kabar bayi yang merupakan anak kandungnya itu telah dibuang ke laut oleh kakeknya lalu diambil oleh awak kapal milik orang Gresik. 

Begitulah kabar singkat yang disampaikan oleh Maulana Ishaq kepada Sunan Ampel saat itu. Maulana Ishaq juga menyampaikan bahwa bayi yang lahir dari Dewi Sekar Dadu itu sudah memiliki nama lahir yaitu *Raden Paku*. Saat di depan Ageng Pinatih itu pun Sunan Ampel langsung berkata dengan penuh keyakian bahwa Sunan Giri kecil yang telah diasuh dan diambil anak oleh Ageng Pinatih itu adalah anak kandung dari pasangan Maulana Ishaq dan Dewi Sekar Dadu yang sesungguhnya adalah keponakannya sendiri. Mukanya yang mirip dengan wajah Maulana Ishaq menambah keyakinan bagi Sunan Ampel bahwa ia memang Raden Paku. Sejak itu Sunan Ampel memberinya nama baru yaitu Muchammad 'Ainul Yaqin. Muchammad artinya Pria Terpuji. Dan 'Ainul Yaqin artinya pandangan yang yakin. Sepertinya nama itu terinspirasi dari Aura yang dirasakan oleh Sunan Ampel melalui pandangan mata Sunan Giri. Selain itu 'Ainul Yaqin juga bisa diartikan sebagai pandangan yakin terhadap adanya Tuhan (: Ma'rifatulloh). 

Selanjutnya hari demi hari Sunan Giri semakin bersemangat dalam mendalami ilmu - ilmu agama Islam melalui pengajaran diniyyah yang disampaikan oleh Sunan Ampel di pesantren Ampel. Sunan Ampel juga semakin bersimpati kepada Sunan Giri yang memiliki kecerdasan diatas rata - rata para santri. Alhasil, Muchammad 'Ainul Yaqin itu berhasil menjadi Santri Terbaik yang dikagumi oleh Sunan Ampel. Ia mampu mengukir prestasi belajarnya dengan baik. Hingga kelak ia pun akan menjadi guru dan pemimpin (sunan) bagi masyarakatnya.