6. Perjuangan Politik
Definisi politik tempo doeloe memang tidak sedetil terminologi politik di jaman ini. Politik di jaman dulu diartikan sangat sederhana yaitu kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan kerajaan atau raja - raja dan orang - orang kepercayaan raja yang tersebar di daerah - daerah. Maka Ageng Pinatih itu merupakan orang kepercayaan Majapahit yang dijadikan raja kecil di wilayah pelabuhan Gresik. Sama dengan Sunan Bungkul juga merupakan orang kepercayaan majapahit yang dijadikan raja kecil di wilayah surabaya. Sedangkan Sunan Giri adalah generasi masa depan yang memiliki keterkaitan langsung dengan Ageng Pinatih dan Sunan Bungkul. Bahkan bila dirunut dari ibu kandungnya yang ada di Banyuwangi maka Sunan Giri sebenarnya adalah pemangku dinasti Prabu Minak Sembuyu yang berhak menjadi Raja di Blambangan, sebab ia merupakan cucu tunggal Raja Blambangan itu. Namun riwayat Blambangan ini tiba - tiba lenyap seiring dengan berakhirnya riwayat Majapahit dalam percaturan politik nasional pada masa itu.
Era perpolitikan pada masa Sunan Giri memasuki usia dewasa sudah bergeser ke arah perubahan yang signifikan. Pelopornya adalah murid Sunan Ampel yang sama - sama satu alumni dengan Sunan Giri yaitu Raden Abdul Fattah yang berada di Demak Jawa Tengah. Raden Abdul Fattah ini memiliki naluri kepemimpinan yang lebih politis daripada Sunan Giri. Raden Abdul Fattah terlihat lebih berani dalam merencanakan gagasan perubahan politik di wilayah nusantara ini. Ia benar - benar ingin menggeser Majapahit lalu mendirikan kerajaan baru berbasis Islam yang diberi nama Kerajaan Islam Demak. Disini agama mulai dihadirkan kembali sebagai kekuatan politik menuju perubahan. Sebab pada era sebelumnya kerajaan - kerajaan di jawa ini juga menggunakan agama hindu sebagai penguat ideologi politiknya. Terbukti pada diri Maulana Ishaq yang akhirnya diusir dari istana Blambangan karena ada perbedaan agama yang ditempatkan secara sensitif.
Untuk menambah wawasan yang lebih lengkap pasca Sunan Giri menikah maka ia membuat jadwal untuk menghadap ayahnya yaitu Maulana Ishaq yang bermukim di pasai. Momentum itu dilaksanakan oleh Sunan Giri di sekitar tahun 1473 masehi. Ia menemui ayahnya itu selain untuk memohon doa restu tentu ada tujuan lain yang lebih penting. Sebab yahnya itu merupakan tokoh kunci yang bisa menjelaskan bagaimana sesungguhnya situasi politik di kerajaan Blambangan pada saat itu sehingga menimbulkan korban dirinya dibuang ke laut, ayahnya diusir dari istana, dan ibu kandungnya sampai meninggal dunia. Sunan Giri ingin menggali wawasan politik yang lebih dalam lagi. Hingga akhirnya ia diberi tugas oleh ayahnya itu untuk mendirikan pesantren di Gresik. Lalu ia diberi dua pengawal muda asal melayu yang sudah terlatih yaitu kujo dan grigis. Bahkan ada sebungkus tanah yang diberikan oleh Maulana Ishaq kepada Sunan Giri agar ia mencari lahan di gresik sesuai tanah tersebut. Entah apa tujuan dari pemberian tanah tersebut yang sulit dinalar secara logika, namun Sunan Giri tetap mengikuti arahan dari ayahnya itu hingga bertahun - tahun ia belum bisa menemukan lahan yang tanahnya sesuai dengan sebungkus tanah pemberian ayahnya itu.
Sampai di tahun 1477 masehi, Sunan Giri muda sedang diundang ke Demak untuk mengikuti musyawarah guna membantu Raden Abdul Fattah dalam mewujudkan gagasan pendirian kerajaan Islam di Demak. Maka dalam kurun waktu yang agak lama Sunan Giri muda harus meninggalkan Gresik tanpa mengajak anak istri lalu berada di Demak. Dikisahkan pada saat itu Sunan Giri mendampingi Raden Abdul Fattah memimpin prajurit untuk menduduki kerajaan Majapahit hingga dapat dipastikan bahwa kerajaan hindu terbesar di jawa itu telah berakhir. Lalu selang beberapa saat kemudian Raden Abdul Fattah memproklamirkan berdirinya kerajaan Islam di Demak pada tahun 1478 masehi.
Perjuangan Sunan Giri ikut menginisiasi berdirinya kerajaan Demak itu telah diabadikan berupa gapura naga kembar yang dibangun oleh putra Sunan Giri bernama Sunan Dalemweran pada tahun 1506 masehi saat Sunan Giri wafat. Bangunan gapura naga kembar itu berada di sisi selatan astana makam Sunan Giri di giri gajah. Pada gapura naga itu terdapat catatan penting berupa tulisan tahun 1399 saka (:1477 masehi) terbaca nogo loro warnaning tunggal (:dua naga yang sama warna) dan juga terbaca lawang gapura gunaning ratu (pintu gapura itu untuk mengenang raja). Dua naga yang satu warna itu merupakan visualisasi atas adanya dua tokoh besar perpolitikan Islam di jawa yang satu visi dan saling memperkuat yaitu Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Abdul Fattah (Sunan Bintoro Demak).
Kiprah Sunan Giri terhadap Demak juga bisa dibuktikan saat Raden Abdul Fattah memulai gerakan sosial keagamaan sebelum mendirikan kerajaan. Tepatnya pada tahun 1466 saat Raden Abdul Fattah mulai membangun masjid Demak maka Sunan Giri ikut berpartisipasi menyumbangkan satu tiang masjid serta beberapa bahan bangunan lain yang dibutuhkan. Sementara di kalangan masyarakat Gresik dan Banjarmasin pada jaman itu Sunan Giri dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses dan dermawan. Sedangkan bagi Raden Abdul Fattah sendiri, Sunan Giri itu dinilai sebagai Tokoh Muda yang pengaruhnya kuat karena pergaulannya luas dan ia ahli dalam berstrategi.
7. Menyiapkan Lahan Strategis
Disaat Sunan Giri telah memasuki usia dewasa, ia telah memiliki segalanya, ada dua istri dan beberapa anak yang mampu menambah spirit dalam hidupnya, serta potensi niaga yang ia bangun selama ini bersama ibunya. Terutama setelah ia bertemu dengan ayahnya di pasai yaitu Maulana Ishaq. Maka pola hidup Sunan Giri makin berubah jauh ke depan sesuai dengan potensi dan kompetensi yang ia miliki. Sunan Giri yang dulu hanya sibuk mengelola perdagangan, kini ia mulai berencana membangun pesantren besar sebagaimana gagasan, arahan, dan sample tanah yang ia terima dari Maulana Ishaq sewaktu di pasai.
Akan tetapi Sunan Giri masih penasaran dengan jenis tanah yang ia terima dari pasai itu. Ia belum mampu merasionalisasikan hal tersebut secara obyektif. Stagnasi dalam berfikir terkait sample tanah itu membuat Sunan Giri harus menata hati. Menata hati dengan niat bahwa ia akan mematuhi arahan orang tuanya. Niat mematuhi arahan orangtua itu akan ia tempatkan sebagai wasilah (alat trasformasi) untuk mencapai keberhasilan dalam membangun rencana besar. Sebab mengikuti arahan orang tua itu merupakan cara bagi anak agar mendapatkan ridho Tuhan (:restu Tuhan). Sebab dalam konsep al-Qur'an sudah dijelaskan, Agar Tuhan itu ridho maka orang tua harus ridho. Orangtua akan memberikan restu kepada anak manakala arahannya dipatuhi oleh si anak. Disitulah letak sugesti yang maha dahsyat. Dan sugesti itu bisa menghadirkan kekuatan Tuhan, sebagaimana sabda Allah dalam hadits qudsi bahwa Aku ini tergantung sugesti kuat hambaku terhadap aku (: Ana 'inda dzonni 'abdi bi).
Lalu apa makna dibalik gagasan, arahan, dan sample tanah yang disampaikan oleh Maulana Ishaq kepada Sunan Giri itu? Bila Sunan Giri saja pada saat itu belum tahu atas makna tersirat dibalik sample tanah itu, apalagi sang penulis cerita. Kecuali jika hanya sebatas menghubungkan kemungkinan - kemungkinan yang bisa dirasionalisasikan secara subyektif, maka sah saja setiap orang memahaminya dengan pola pikir yang berbeda - beda sesuai dengan sisi pandang masing - masing. Olehkarena itu mari kita coba membedah dengan metode kebebasan berfikir dalam menginterpretasikan makna yang tersirat dengan nilai yang kasad mata.
Maulana Ishaq yang ahli ilmu filsafat itu sepertinya sedang membuat pola semacam politisasi sample tanah. Politisasi disini bukan dalam konotasi negatif. Politisasi sample tanah ini dimaksudkan sebagai cara saja agar dengan sample tanah itu Sunan Giri terdorong untuk melakukan observasi lahan sebelum mendirikan pesantren di gresik. Apalagi pada masa itu belum ada ilmu survey dan ilmu observasi tanah. Maka itulah cara cerdas Maulana Ishaq yang diterapkan untuk Sunan Giri sebagai ganti dari ilmu observasi yang belum ada. Dan saat itu Sunan Giri sedang ngaji ilmu politik kepada Maulana Ishaq di pasai.
Bayangkan saja bila tanpa observasi lahan terlebih dahulu maka mustahil Sunan Giri bisa menemukan lokasi yang strategis dan potensial untuk pendirian pesantrennya sebagaimana prasastinya yang bisa kita lihat saat ini. Berkat sample tanah itu maka Sunan Giri telah melakukan penjelajahan lokasi dimana - mana. Bahkan penjelajahan itu telah memberikan nilai positif bagi Sunan Giri yang akhirnya menguasai peta lahan dan mengetahui keadaan sosial masyarakat secara lebih merata di wilayah gresik ini.
Awal mula penjelajahan lokasi dilakukan oleh Sunan Giri yang didampingi kujo dan gerigis ke daerah bukit yang diperkirakan (:dipanceng/dipanteng) unsur tanahnya memiliki kecocokan dengan sample tanah yang ia bawa dari pasai. Namun setelah beberapa hari melakukan observasi disana ternyata belum ada tanda - tanda kecocokan, mungkin lokasinya terlalu jauh dari tempat domisil Sunan Giri. Akhirnya tempat itu ditinggalkan oleh Sunan Giri. Kebetulan saat itu ada kabar bahwa Sunan Ampel sedang sakit. Akhirnya Sunan Giri bergegas pulang untuk mengajak Dewi Murtasiyah menjenguk Sunan Ampel yang sedang sakit hingga akhirnya tak tersembuhkan dan wafat pada tahun 1475 masehi. Daerah perbukitan yang telah dijelajahi oleh Sunan Giri itu lalu diberi nama Panceng.
Beberapa saat setelah wafatnya Sunan Ampel itu maka kegiatan jelajah sempat terhenti. Mungkin masih merasakan duka menyelimuti hati dalam keluarga Sunan Giri terutama bagi Dewi Murtasiyah. Hingga setahun kemudian ada utusan Raden Abdul Fattah (Raden Patah) menemui Sunan Giri di kebungson. Ia sedang menghaturkan permohonan Raden Patah yang membutuhkan Sunan Giri untuk ikut menyusun rencana besar mendirikan Kerajaan Islam. Akhirnya Sunan Giri yang didampingi Kujo dan Gerigis itu berangkat ke Demak. Disana Sunan Giri diberi kepercayaan oleh Raden Patah untuk melatih dan menyiapkan perajurit. Setelah itu Sunan Giri bersama Raden Patah berada di garis depan memimpin pasukan untuk menaklukkan majapahit dan menduduki istana majapahit selama 40 hari. Hingga pada tahun berikutnya Raden Patah memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak lalu para tokoh muda pergerakan Islam jawa yang dipimpin oleh Sunan Giri pada saat itu mengangkat Raden Patah sebagai Raja Demak. Beberapa tokoh muda yang ikut pergerakan Islam jawa pada saat itu ada Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Murio, dan Sunan Gunung Jati.
Momentun bersejarah itu tertulis dibalik bangunan Gapura Naga Kembar yang dibangun oleh Sunan Dalemwetan untuk mengenang perjuangan Sunan Giri yang ikut melahirkan pergerakan Islam jawa sesudah runtuhnya kerajaan majapahit. Pada gapura itu tertulis angka tahun 1399 saka / 1477 masehi terbaca lawang gapuro gunaning ratu dan nogo loro warnoning tunggal. Artinya bahwa itu merupakan prasasti yang melambangkan lahirnya seorang raja besar yaitu Raden Patah. Dan ada dua raja yang dilambangkan sebagai dua naga kembar yaitu Raden Patah dan Sunan Giri, keduanya sama - sama raja Islam, namun keduanya bisa menyatu dan tidak berjalan sendiri - sendiri. Gapura Naga Kembar itu dibangun oleh Sunan Dalemwetan sebagai pintu masuk astana makam Sunan Giri pada tahun 1506 masehi saat Sunan Giri sudah wafat.
Berikutnya Sunan Giri melakukan jelajah lokasi ke arah selatan dari domisilinya. Ia naik ke sebuah bukit yang masih kosong tidak ada pemukiman disana. Sebelah timur selatan bukit itu terdapat kali lamong yang melintang hingga ke arah barat. Namun niat Sunan Giri akan singgah beberapa hari di puncak bukit itu akhirnya digagalkan (:diurungkan) disebabkan ada kabar tentang ibunya yang sedang sakit. Sunan Giri yang didampingi Kujo dan Grigis itu akhirnya pulang kembali ke kebungson untuk merawat ibunya. Hingga akhirnya Ageng Pinatih tak bisa disembuhkan dari sakitnya dan wafat pada tahun 1478 masehi. Akibat jelajah yang tidak dillanjutkan itu maka di kemudian hari bukit itu diberi nama Gunung Wurung.
Lengkap sudah kesunyian batin yang dirasakan oleh Sunan Giri karena telah ditinggal wafat oleh dua inspirator hidupnya yaitu Ibunda Ageng Pinatih dan Sunan Ampel. Meskipun di rumah masih ada istri dan anak - anak, namun mereka semua itu tak bisa menggantikan sosok dua orang tua Sunan Giri itu. Sebab selama hidupnya ia memang lebih dekat kepada ibunda Ageng Pinatih dan Sunan Ampel. Keduanya merupakan pelita dalam hidupnya. Terutama bila lebaran sudah tiba maka rasa sunyi itu sangat menyentuh hati hingga tak terasa bisa membuat tetes air mata. Bayangkan saja semua orang dekat sedang berkumpul bersama di bilik rumah, namun dua orang yang amat ia cintai itu justru tidak ada bersamanya untuk selama - lamanya.
Meski demikian Sunan Giri tetap konsisten dalam membangun recana - rencana hidupnya. Ia melanjutkan kembali jelajahnya. Kali ini ia bersama kujo dan gerigis bergerak menuju perbukitan yang ada di arah barat selatan. Ia cukup lama berada di bukit tersebut. Bahkan ia telah membuat embung kecil (jublang) di lereng bukit itu untuk mandi dan bersuci bila hendak melaksanakan sholat. Konon di dalam jublang itu terdapat sumber air yang cukup bagus. Hingga di kemudian hari daerah itu diberi nama Sumber. Momentum itu diperkirakan terjadi di tahun 1479.
Perbukitan itu terus dijelajahi oleh Sunan Giri sampai ia memutar ke arah timurnya. Penjelajahannya kian mendaki hingga berada di puncak bukit itu. Lalu disitu Sunan Giri membuat surau yang terbuat dari kayu jati. Ia mengerjakan sendiri rangka kayu surau itu bersama kujo dan gerigis. Mereka bertiga itu bagaikan tukang kayu saja. Momentum pertukangan kayu itu hingga kini tetap abadi karena bukit itu telah diberi nama bukit Petukangan. Antara sumber dan petukangan itu akhirnya terjadi pemutusan hubungan, entah karena apa Sunan Giri tiba - tiba melakukan pemegatan bukit diantara bukit yang ada di sumber dan bukit petukangan itu. Sehingga pada saat Sunan Giri mendirikan pesantren muncul nama gunung pegat dan telaga besar yang dibuat oleh Sunan Giri di tengah - tengah dua bukut itu juga diberi nama telaga pegat.
Setelah Sunan Giri membangun surau untuk sholat dan beristirahat di bukit petukangan itu, suatu hari muncul gejala sosial yang kurang bagus pada Sunan Giri. Lereng bukit yang ada di sisi barat selatan dari bukit petukangan itu ternyata sudah ada penghuninya. Beberapa penduduk yang berada di lereng itu menunjukkan sikap yang kurang simpatik kepada Sunan Giri padahal Sunan Giri sudah bersikap ramah terhadap mereka. Beginilah kisahnya, saat Sunan Giri memohon bantuan kepada penduduk setempat karena ia butuh semacam alat penimba air untuk berwudhu di sumur yang ada disitu, ternyata tidak ada satupun warga lereng bukit itu yang mau membantu. Hingga dikisahkan ada kejengkelan Sunan Giri yang akhirnya sumur itu seolah diguling oleh Sunan Giri agar airnya bisa tumpah naik ke atas sehingga untuk mengambil airnya itu sudah tidak membutuhkan alat penimba. Meskipun kejelasan cerita ini antara fakta dan fiksinya sulit dirasionalisasikan namun momentum itu telah terabadikan sampai sekarang karena sumur itu telah diberi nama Sumur Gemuling dan fakta visualisasi sumur tersebut memang terlihat agak miring.
Jelajah yang cukup melelahkan itu belum juga membawa hasil. Tahun demi tahun sudah dilalui oleh Sunan Giri. Hingga memasuki tahun 1480 an saat Sunan Giri berada di lereng terdekat dari bukit petukangan. Ia bersama kujo dan gerigis di tengah malam itu sedang bermunajat kepada Allah. Ia berada di alam terbuka menghadap kiblat. Saat itu, tiba - tiba ia melihat ada seberkas cahaya terang memancar dari suatu bukit yang ada di posisi barat. Lalu pada saat itupun Sunan Giri memperkirakan (bhs. Jawa : membhatang) kira - kira bukit yang bercahaya itulah yang mungkin tanahnya cocok dengan sample tanah yang ia bawa dari pasai.
Akhirnya ia bersama kujo dan gerigis bergegas menuju bukit tersebut meskipun tengah malam itu terasa sangat hening. Alhasil, saat ia mencoba memadukan sample tanah yang ia bawa dari pasai dengan tanah perbukitan yang ia datangi ternyata memang memiliki kesamaan dari unsur warna dan bau tanahnya. Inilah akhir dari penjelajahan itu. Hingga di hari kemudian bukit dimana Sunan Giri melihat ada seberkas cahaya itu diberi nama Gunung Bhatang (: gunung yang ia pijak saat ia memperkirakan keberadaan tempat yang ia cari). Namun saat ini jangan ada yang ingin mendatangi gunung bhatang itu. Sebab gunung bhatang itu tanahnya sudah habis dijadikan bahan baku Semen Gresik era 1975 an.
Akhirnya ia bersama kujo dan gerigis bergegas menuju bukit tersebut meskipun tengah malam itu terasa sangat hening. Alhasil, saat ia mencoba memadukan sample tanah yang ia bawa dari pasai dengan tanah perbukitan yang ia datangi ternyata memang memiliki kesamaan dari unsur warna dan bau tanahnya. Inilah akhir dari penjelajahan itu. Hingga di hari kemudian bukit dimana Sunan Giri melihat ada seberkas cahaya itu diberi nama Gunung Bhatang (: gunung yang ia pijak saat ia memperkirakan keberadaan tempat yang ia cari). Namun saat ini jangan ada yang ingin mendatangi gunung bhatang itu. Sebab gunung bhatang itu tanahnya sudah habis dijadikan bahan baku Semen Gresik era 1975 an.