8. Mendirikan Pesantren di Giri
Tahun 1480 masehi Sunan Giri berusia 37 tahun, merupakan awal kebangkitan bagi seorang Raden Paku (: nama lahir pemberian Maulana Ishaq) yang telah memiliki nama balita Joko Samudro (pemberian ibunda Ageng Pinatih) dan nama remaja Muchammad 'Ainul Yaqin (nama pemberian dari Sunan Ampel). Kebangkitan bagi Raden Paku itu dkarenakan pada tahun itu ia telah mendirikan sebuah pesantren diatas bukit yang ia temukan dalam penjelajahannya. Bukit itu diberi nama Giri, sehingga pesantren yang ia didirikan itu diberi nama Pesantren Giri, sama seperti Sunan Ampel yang memberi nama pesantrennya dengan nama pesantren ampel sesuai dengan nama daerah domisilinya. Giri artinya adalah bukit atau gunung. Berarti pesantren giri itu artinya adalah pesantren gunung. Akhirnya Raden Paku mulai saat itu sudah mulai menyandang sebutan Sunan Giri, sebab ia sudah menjadi pendiri dan pengasuh pesantren giri serta mulai menjalankan peran kepemimpinan bagi masyarakat religius di giri dan sekitarnya. Sebelumnya ia hanya dipanggil dengan nama Raden Paku. Sebagian memanggilnya dengan panggilan Raden Joko Samudro. Sedangkan para santri ampel memanggilnya dengan nama Raden 'Ainul Yaqin. Namun sekarang mayoritas orang memanggilnya Sunan Giri, meskipun saat ini beliau sudah bersemayam disisi Tuhan, namun bangsa Indonesia masih merasakannya seoĺah ia tetap hidup.
Pesantren pada jaman itu jangan dibayangkan seperti pesantren pada jaman ini. Pesantren pada abad 15 itu tidak ubahnya hanya bangunan masjid yang dikelola menjadi lembaga pengajaran Islam. Jaman itu jaman jadul, memang belum ada gedung - gedung sekolah meskipun hanya berupa gedung bambu. Para santri juga tidak duduk di kursi. Mungkin mereka duduk diatas tikar. Olehkarena itu gedung sekolah bagi pesantren tempo doeloe itu hanyalah bangunan masjid. Termasuk pesantren giri pada saat itu adalah masjid yang dibangun oleh Sunan Giri diatas gunung Giri. Masjid pesantren giri pada saat itu berkonstruksi kayu yang kini sudah tidak ada bekasnya. Entah diambil oleh siapa kog sampe ludes tidak tersisa sama sekali.
Sunan Giri yang pergaulannya sangat luas, mulai dari kalangan biasa hingga kalangan atas, baik di jawa maupun di luar jawa, tentu hal itu sangat menunjang popularitasnya saat ia membangun pesantren dan menjadi pengasuh santri. Terbukti dalam kurun yang tidak lama, pesantren giri itu dibanjiri para remaja yang ingin belajar ilmu agama kepada Sunan Giri. Apalagi Sunan Giri itu dikenal sebagai orang yang cerdas dan berwawasan luas. Bahkan para santri Ampel yang sudah tersebar di berbagai daerah di jawa mauupun luar jawa juga ikut merekomendasikan bahwa Sunan Giri saat mondok di pesantren Ampel merupakan santri yang mahir dan mampu menguasai beragam kitab yang menjadi sumber ilmu agama.
Dalam kurun setahun setelah pesantren giri itu didirikan oleh Sunan Giri selanjutnya terjadi kekurangan air di sekitar giri. Para santri yang terus bertambah dan sumber air di perbukitan giri yang terbatas merupakan faktor utama penyebab terjadinya kekurangan air. Secepatnya problema itu harus dicarikan solusinya. Lantas Sunan Giri merundingkan hal tersebut dengan syeh Kujo dan syeh Gerigis yang diakhirnya ditetapkan solusinya harus segera membuat telaga. Akhirnya syeh Kujo mengumumkan kepada semua santri giri untuk gotong royong menggali area gundukan lereng yang berada di pertemuan dua bukit kecil yang tak jauh dari lokasi pesantren giri itu untuk dijadikan telaga besar. Penggalian gundukan itu akhirnya membentuk telaga dan seolah mrmisahkan (:memegat) dua bukit yang asalnya terhubung itu berubah jadi tetpisah. Sehingga telaga besar itu pada hari kemudian diberi nama telaga pegat. Telaga pegat itu dibuat sebagai tandon air untuk sarana mandi para santri giri, dan juga untuk sarana cuci baju.
Muncul kisah - kisah tutur seputar pembuatan telaga pegat. Salah satunya adalah kisah Kempul Syeh Kujo. Kempul syeh kujo itu sejenis gong yang terbuat dari logam kuningan. Saat telaga pegat itu digali dengan kedalaman khusus pada titik koordinatnya, tiba - tiba ditemukan sumber air yang cukup dahsyat sehingga telaga yang luasnya hampir separoh hektar itu terpenuhi air. Namun suasana kegembiraan itu sempat berubah jadi kepanikan sesaat karena sumber air pada titik koordinat itu dikhawatirkan masih terus menyemburkan air, padahal air di telaga itu sudah penuh. Akhirnya syeh kujo pun berinisiatif melakukan upaya preventif dengan menyelam sambil membawa kempul tersebut untuk disumbatkan pada sumber air itu agar tidak terus menyemburkan air, sebab dikhawatirkan bisa menimbulkan banjir.
Satu lagi kisah tutur yang cukup populer terkait dengan gotong royong saat menggali tanah untuk telaga. Meskipun kisah ini sulit untuk dirasionalisasikan, namun setidaknya kisah ini bisa dijadikan referensi dalam membangun kebersamaan yaitu merasakan hal yang sama secara adil dan merata. Kisah itu tentang Kendil Barokah yang digunakan oleh Sunan Giri untuk memasak nasi liwet. Konon dari kendil itu nasi liwet tidak pernah habis dan mampu mencukupi kebutuhan makan para santri yang sedang ikut menggali tanah untuk telaga. Padahal kendil itu berukuran normal dan bukan kendil raksasa. Bahkan konon ada penduduk sekitar yang memanggul sekarung beras saat itu sedang melintas di depan Sunan Giri yang sedang menyiapkan nasi liwet untuk para santri. Tiba - Tiba Sunan Giri menyapa orang tersebut dan menanyakan kepadanya apakah sedang memanggul karung berisi beras? Lalu orang tersebut menjawab dengan jawaban palsu, ia mengatakan bahwa yang ada dalam karung itu bukan beras, tapi garam. Akhirnya Sunan Giri tersenyum. Namun ketika orang tersebut membuka karung saat berada di rumahnya, ternyata isinya berubah jadi garam. Kontan saja orang tersebut segera menemui Sunan Giri dan meminta maaf.
Saat Sunan Giri memasuki usianya genap 40 tahun, ia mengajak syeh kujo dan syeh gerigis untuk melaksanakan ibadah hajji ke mekkah. Dikisahkan bahwa Sunan Giri setelah purna melaksanakan rangkaian ibadah haji itu lalu bersilaturrahim menemui seseorang yang berkebangsaan mesir namun telah bermukim di mekkah. Seseorang itu bernama Sayyid Abdurrahman. Ternyata Sayyid Abdurrahman itu adalah orang mesir yang bisa berbahasa jawa. Sunan Giri dalam beberapa hari berada di rumah Sayyid Abdurrahman sambil bertukar fikiran seputar masalah - masalah agama secara fiqhiyyah. Bahkan Sunan Giri telah menyampaikan ada 60 masalah agama yang perlu dirumuskan lebih detil sesuai dengan al-qur'an dan hadits Nabi. Hingga pada masa berikutnya Sunan Giri menulis suatu naskah/buku yang berjudul Sittina. Isinya adalah 60 masalah agama yang pernah ia sampaikan di hadapan Sayyid Abdurrahman. Akhirnya sampailah pada hari dimana Sunan Giri harus kembali ke Gresik dan Sayyid Abdurrahman diajak oleh Sunan Giri untuk ikut ke gresik perlu membantu dalam mengasuh santri di pesantren Giri. Ia lantas bermukim di Giri mengabdi sebagai pengasuh santri hingga akhir hayatnya. Makamnya ada di bukit petukangan berada di sebelah baratnya makam Putri Cempo.
Makin tahun santri giri semakin bertambah. Mereka berasal dari jawa, madura, lombok, banjarmasin, ternate, tidore, dan bugis. Para santri itu selain diajari ngaji qur'an dan mendalami kitab - kitab salaf, mereka juga dilatih untuk berkebun. Sunan Giri telah menyiapkan sentra untuk latihan berkebun itu di suatu lokasi yang diberi nama Kebun Dalem. Tak jauh dari lokasi perkebunan itu Sunan Giri membuat telaga kedua yang berukuran sedang. Telaga itu diberi nama Telaga Pati, sebab yang diajak oleh Sunan Giri dalam membuat telaga itu adalah para santri dari Pati jawa tengah. Sunan Giri juga telah menyiapkan komplek pemukiman para santri di areal barat pesantren yaitu di sebuah tempat yang diberi nama Pedukuhan. Bersebelahan dengan pemukiman para santri, di sebelah baratnya terdapat tempat tinggal untuk para pengajar yang diberi nama Kajen.
9. Mendirikan Kerajaan Giri
Pasca berdirinya pesantren giri itu Sunan Giri mulai memasuki sebuah kehidupan yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Kehidupan yang demikian itu disebut dengan kehidupan politik. Maka politik dari aspek keilmuan hanyalah konsep baku yang sejak dulu hingga sekarang tidak banyak mengalami perubahan. Di kalangan para santri pun ilmu politik itu dipelajari sebagai ilmu strategi membangun kekuatan pemerintah, dan olehkarena itu diberi nama 'ilmus-siyasah (: ilmu siasat). Dalam perspektif ilmu siasat itu maka politik menjadi lebih obyektif dalam merespon keadaan yang terjadi. Dinamikanya mengikuti arus situasi dan keadaan yang dominan dengan melihat kebutuhan, potensi, peluang, dan tantangan. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi perilaku politik bagi para pelakunya adalah faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Lalu bagaimana dengan Sunan Giri?
Pada tahun 1473 masehi Sunan Giri bersama Adik iparnya yang bernama Makhdum Ibrahim (:Sunan Bonang) berada di Pasai untuk beberapa waktu lamanya guna nyantri kepada Maulana Ishaq ayah kandung Sunan Giri yang pada era itu dikenal sebagai tokoh ahli ilmu filsafat dan ilmu siasat. Kompetensinya itu sudah terbukti bahwa Maulana Ishaq sebagai ekspatriat dari Kamboja itu telah mampu menembus singgasana kerajaan hindu Blambangan dan berhasil menikah dengan putri tunggal Dewi Sekar Dadu yang saat itu sedang diidam - idamkan sebagai wanita mahkota bagi kerajaan Blambangan. Maka sangat tepat bila Sunan Giri ingin menimba ilmu filsafat dan ilmu siasat kepada Maulana Ishaq.
Saat di pasai Sunan Giri diajari oleh ayahnya itu tentang ilmu bagaimana mengelola kerajaan dengan baik dan kuat. Lalu tentang strategi komunikasi politik yang dibutuhkan untuk mengelola hubungan kerajaan dengan masyarakat serta hubungan kerajaan dengan kerajaan. Dalam aspek spiritual, Maulana Ishaq juga membekali Sunan Giri dengan metode thariqat as-syattariyah melalui kajian kitab salaf yang ditulis oleh Imam 'Abdullah Asy-Syattari. Begitu pula Makhdum Ibrahim juga mengikuti pelajaran - pelajaran yang sama. Tak terlupakan tentang beladiri china, Maulana Ishaq juga mengajarkannya kepada Sunan Giri dan Makhdum Ibrahim. Setelah dianggap lulus maka Maulana Ishaq memberikan sample tanah dari pasai kepada Sunan Giri untuk pedoman membuat kawasan pesantren. Sedangkan Makhdum Ibrahim mendapatkan keris bernama Khish dari Ayah Sunan Giri. Lalu mengapa Sunan Giri saat itu dibekali sample tanah dan disuruh menghimpun lahan sesuai sample tanah itu untuk dibangun kawasan pesantren yang besar ?
Disitulah Maulana Ishaq sedang menguji praktik kerja lapangan untuk Sunan Giri. Sample tanah itu menjadi bermuatan politis setelah beberapa tahun kemudian Sunan Giri mulai bergeser masuk ke dunia politik, sebuah dunia yang lebih menantang dan lebih berdimensi global. Tentu saja dengan bekal ilmu siasat yang sudah ia pelajari dari ayahnya itu maka Sunan Giri telah mempertimbangkan aspek kebutuhan, potensi, peluang, dan tantangan pada masa itu.
Pesantren pada jaman itu jangan dibayangkan seperti pesantren pada jaman ini. Pesantren pada abad 15 itu tidak ubahnya hanya bangunan masjid yang dikelola menjadi lembaga pengajaran Islam. Jaman itu jaman jadul, memang belum ada gedung - gedung sekolah meskipun hanya berupa gedung bambu. Para santri juga tidak duduk di kursi. Mungkin mereka duduk diatas tikar. Olehkarena itu gedung sekolah bagi pesantren tempo doeloe itu hanyalah bangunan masjid. Termasuk pesantren giri pada saat itu adalah masjid yang dibangun oleh Sunan Giri diatas gunung Giri. Masjid pesantren giri pada saat itu berkonstruksi kayu yang kini sudah tidak ada bekasnya. Entah diambil oleh siapa kog sampe ludes tidak tersisa sama sekali.
Sunan Giri yang pergaulannya sangat luas, mulai dari kalangan biasa hingga kalangan atas, baik di jawa maupun di luar jawa, tentu hal itu sangat menunjang popularitasnya saat ia membangun pesantren dan menjadi pengasuh santri. Terbukti dalam kurun yang tidak lama, pesantren giri itu dibanjiri para remaja yang ingin belajar ilmu agama kepada Sunan Giri. Apalagi Sunan Giri itu dikenal sebagai orang yang cerdas dan berwawasan luas. Bahkan para santri Ampel yang sudah tersebar di berbagai daerah di jawa mauupun luar jawa juga ikut merekomendasikan bahwa Sunan Giri saat mondok di pesantren Ampel merupakan santri yang mahir dan mampu menguasai beragam kitab yang menjadi sumber ilmu agama.
Dalam kurun setahun setelah pesantren giri itu didirikan oleh Sunan Giri selanjutnya terjadi kekurangan air di sekitar giri. Para santri yang terus bertambah dan sumber air di perbukitan giri yang terbatas merupakan faktor utama penyebab terjadinya kekurangan air. Secepatnya problema itu harus dicarikan solusinya. Lantas Sunan Giri merundingkan hal tersebut dengan syeh Kujo dan syeh Gerigis yang diakhirnya ditetapkan solusinya harus segera membuat telaga. Akhirnya syeh Kujo mengumumkan kepada semua santri giri untuk gotong royong menggali area gundukan lereng yang berada di pertemuan dua bukit kecil yang tak jauh dari lokasi pesantren giri itu untuk dijadikan telaga besar. Penggalian gundukan itu akhirnya membentuk telaga dan seolah mrmisahkan (:memegat) dua bukit yang asalnya terhubung itu berubah jadi tetpisah. Sehingga telaga besar itu pada hari kemudian diberi nama telaga pegat. Telaga pegat itu dibuat sebagai tandon air untuk sarana mandi para santri giri, dan juga untuk sarana cuci baju.
Muncul kisah - kisah tutur seputar pembuatan telaga pegat. Salah satunya adalah kisah Kempul Syeh Kujo. Kempul syeh kujo itu sejenis gong yang terbuat dari logam kuningan. Saat telaga pegat itu digali dengan kedalaman khusus pada titik koordinatnya, tiba - tiba ditemukan sumber air yang cukup dahsyat sehingga telaga yang luasnya hampir separoh hektar itu terpenuhi air. Namun suasana kegembiraan itu sempat berubah jadi kepanikan sesaat karena sumber air pada titik koordinat itu dikhawatirkan masih terus menyemburkan air, padahal air di telaga itu sudah penuh. Akhirnya syeh kujo pun berinisiatif melakukan upaya preventif dengan menyelam sambil membawa kempul tersebut untuk disumbatkan pada sumber air itu agar tidak terus menyemburkan air, sebab dikhawatirkan bisa menimbulkan banjir.
Satu lagi kisah tutur yang cukup populer terkait dengan gotong royong saat menggali tanah untuk telaga. Meskipun kisah ini sulit untuk dirasionalisasikan, namun setidaknya kisah ini bisa dijadikan referensi dalam membangun kebersamaan yaitu merasakan hal yang sama secara adil dan merata. Kisah itu tentang Kendil Barokah yang digunakan oleh Sunan Giri untuk memasak nasi liwet. Konon dari kendil itu nasi liwet tidak pernah habis dan mampu mencukupi kebutuhan makan para santri yang sedang ikut menggali tanah untuk telaga. Padahal kendil itu berukuran normal dan bukan kendil raksasa. Bahkan konon ada penduduk sekitar yang memanggul sekarung beras saat itu sedang melintas di depan Sunan Giri yang sedang menyiapkan nasi liwet untuk para santri. Tiba - Tiba Sunan Giri menyapa orang tersebut dan menanyakan kepadanya apakah sedang memanggul karung berisi beras? Lalu orang tersebut menjawab dengan jawaban palsu, ia mengatakan bahwa yang ada dalam karung itu bukan beras, tapi garam. Akhirnya Sunan Giri tersenyum. Namun ketika orang tersebut membuka karung saat berada di rumahnya, ternyata isinya berubah jadi garam. Kontan saja orang tersebut segera menemui Sunan Giri dan meminta maaf.
Saat Sunan Giri memasuki usianya genap 40 tahun, ia mengajak syeh kujo dan syeh gerigis untuk melaksanakan ibadah hajji ke mekkah. Dikisahkan bahwa Sunan Giri setelah purna melaksanakan rangkaian ibadah haji itu lalu bersilaturrahim menemui seseorang yang berkebangsaan mesir namun telah bermukim di mekkah. Seseorang itu bernama Sayyid Abdurrahman. Ternyata Sayyid Abdurrahman itu adalah orang mesir yang bisa berbahasa jawa. Sunan Giri dalam beberapa hari berada di rumah Sayyid Abdurrahman sambil bertukar fikiran seputar masalah - masalah agama secara fiqhiyyah. Bahkan Sunan Giri telah menyampaikan ada 60 masalah agama yang perlu dirumuskan lebih detil sesuai dengan al-qur'an dan hadits Nabi. Hingga pada masa berikutnya Sunan Giri menulis suatu naskah/buku yang berjudul Sittina. Isinya adalah 60 masalah agama yang pernah ia sampaikan di hadapan Sayyid Abdurrahman. Akhirnya sampailah pada hari dimana Sunan Giri harus kembali ke Gresik dan Sayyid Abdurrahman diajak oleh Sunan Giri untuk ikut ke gresik perlu membantu dalam mengasuh santri di pesantren Giri. Ia lantas bermukim di Giri mengabdi sebagai pengasuh santri hingga akhir hayatnya. Makamnya ada di bukit petukangan berada di sebelah baratnya makam Putri Cempo.
Makin tahun santri giri semakin bertambah. Mereka berasal dari jawa, madura, lombok, banjarmasin, ternate, tidore, dan bugis. Para santri itu selain diajari ngaji qur'an dan mendalami kitab - kitab salaf, mereka juga dilatih untuk berkebun. Sunan Giri telah menyiapkan sentra untuk latihan berkebun itu di suatu lokasi yang diberi nama Kebun Dalem. Tak jauh dari lokasi perkebunan itu Sunan Giri membuat telaga kedua yang berukuran sedang. Telaga itu diberi nama Telaga Pati, sebab yang diajak oleh Sunan Giri dalam membuat telaga itu adalah para santri dari Pati jawa tengah. Sunan Giri juga telah menyiapkan komplek pemukiman para santri di areal barat pesantren yaitu di sebuah tempat yang diberi nama Pedukuhan. Bersebelahan dengan pemukiman para santri, di sebelah baratnya terdapat tempat tinggal untuk para pengajar yang diberi nama Kajen.
9. Mendirikan Kerajaan Giri
Pasca berdirinya pesantren giri itu Sunan Giri mulai memasuki sebuah kehidupan yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Kehidupan yang demikian itu disebut dengan kehidupan politik. Maka politik dari aspek keilmuan hanyalah konsep baku yang sejak dulu hingga sekarang tidak banyak mengalami perubahan. Di kalangan para santri pun ilmu politik itu dipelajari sebagai ilmu strategi membangun kekuatan pemerintah, dan olehkarena itu diberi nama 'ilmus-siyasah (: ilmu siasat). Dalam perspektif ilmu siasat itu maka politik menjadi lebih obyektif dalam merespon keadaan yang terjadi. Dinamikanya mengikuti arus situasi dan keadaan yang dominan dengan melihat kebutuhan, potensi, peluang, dan tantangan. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi perilaku politik bagi para pelakunya adalah faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Lalu bagaimana dengan Sunan Giri?
Pada tahun 1473 masehi Sunan Giri bersama Adik iparnya yang bernama Makhdum Ibrahim (:Sunan Bonang) berada di Pasai untuk beberapa waktu lamanya guna nyantri kepada Maulana Ishaq ayah kandung Sunan Giri yang pada era itu dikenal sebagai tokoh ahli ilmu filsafat dan ilmu siasat. Kompetensinya itu sudah terbukti bahwa Maulana Ishaq sebagai ekspatriat dari Kamboja itu telah mampu menembus singgasana kerajaan hindu Blambangan dan berhasil menikah dengan putri tunggal Dewi Sekar Dadu yang saat itu sedang diidam - idamkan sebagai wanita mahkota bagi kerajaan Blambangan. Maka sangat tepat bila Sunan Giri ingin menimba ilmu filsafat dan ilmu siasat kepada Maulana Ishaq.
Saat di pasai Sunan Giri diajari oleh ayahnya itu tentang ilmu bagaimana mengelola kerajaan dengan baik dan kuat. Lalu tentang strategi komunikasi politik yang dibutuhkan untuk mengelola hubungan kerajaan dengan masyarakat serta hubungan kerajaan dengan kerajaan. Dalam aspek spiritual, Maulana Ishaq juga membekali Sunan Giri dengan metode thariqat as-syattariyah melalui kajian kitab salaf yang ditulis oleh Imam 'Abdullah Asy-Syattari. Begitu pula Makhdum Ibrahim juga mengikuti pelajaran - pelajaran yang sama. Tak terlupakan tentang beladiri china, Maulana Ishaq juga mengajarkannya kepada Sunan Giri dan Makhdum Ibrahim. Setelah dianggap lulus maka Maulana Ishaq memberikan sample tanah dari pasai kepada Sunan Giri untuk pedoman membuat kawasan pesantren. Sedangkan Makhdum Ibrahim mendapatkan keris bernama Khish dari Ayah Sunan Giri. Lalu mengapa Sunan Giri saat itu dibekali sample tanah dan disuruh menghimpun lahan sesuai sample tanah itu untuk dibangun kawasan pesantren yang besar ?
Disitulah Maulana Ishaq sedang menguji praktik kerja lapangan untuk Sunan Giri. Sample tanah itu menjadi bermuatan politis setelah beberapa tahun kemudian Sunan Giri mulai bergeser masuk ke dunia politik, sebuah dunia yang lebih menantang dan lebih berdimensi global. Tentu saja dengan bekal ilmu siasat yang sudah ia pelajari dari ayahnya itu maka Sunan Giri telah mempertimbangkan aspek kebutuhan, potensi, peluang, dan tantangan pada masa itu.
Keberhasilan Sunan Giri dalam membangun kawasan pesantren giri yang besar menjadi potensi yang istimewa bagi Sunan Giri, sedangkan Raden Patah tidak memilikinya. Keberhasilan itu terbukti pada tahun 1485 Sunan Giri diberi peran oleh para alumni Santri Sunan Ampel yang sudah menjadi tokoh agama di berbagai wilayah jawa dengan peran strategis sebagai Ahlul-halli wal-'aqdi yaitu peran hakim agama. Maka kemudian potensi dan peran yang istimewa itu secara otomatis akan menghadirkan peluang bagi Sunan Giri untuk turun gunung merambah ke wilayah kekuasaan yang lebih luas. Kebutuhannya adalah untuk memperkuat eksistensi Kerajaan Demak yang pada saat itu sering mendapat ancaman dari eks majapahit yang masih tersebar dimana - mana. Selain itu kekuasaan juga dibutuhkan untuk melindungi kerajaan bisnis di pelabuhan Gresik agar tidak mengalami take over dari pihak lain. Sebab pada saat itu mulai terbaca ada potensi ancaman bisnis dari orang - orang asing yang sudah berhasil menguasai pelabuhan di malaka. Mereka adalah orang - orang portugis dan sebagian orang - orang Belanda yang sudah ancang - ancang ingin bergerak menguasai pelabuhan Gresik. Olehkarena itu Sunan Giri ingin membentengi semua kebutuhan itu dengan mendirikan Kerajaan Giri. Maka dalam teori kausalisme ditunjukkan bahwa kepentingan politik itu selalu diawali oleh kepentingan besar lainnya yang non politik. Maka siapapun yang menyimpan kepentingan besar akan memainkan kepentingan politik untuk kepentingan besarnya itu.
Kali ini giliran Sunan Giri sedang menguji praktik ilmu siasat Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) sang adik iparnya yang setia membantu Sunan Giri. Ia ditugaskan untuk menjadi juru komunikasi kepada Kerajaan Demak. Terlebih dahulu ia mendatangi beberapa sahabatnya sesama alumni Ampel yang berada di jawa tengah diantaranya adalah Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, dan Sunan Murio. Mereka diajak bicara tentang gagasan Sunan Giri yang ingin mendirikan Kerajaan Giri untuk siasat memperkuat eksistensi Demak dan untuk siasat menangkal orang - orang asing yang ingin menduduki pelabuhan Gresik. Sementara Sunan Giri sedang menemui Sunan Drajat di Lamongan dengan tujuan yang sama. Orang - Orang Lamongan juga telah disiapkan untuk memperkuat sektor niaga di pelabuhan gresik.
Kali ini giliran Sunan Giri sedang menguji praktik ilmu siasat Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) sang adik iparnya yang setia membantu Sunan Giri. Ia ditugaskan untuk menjadi juru komunikasi kepada Kerajaan Demak. Terlebih dahulu ia mendatangi beberapa sahabatnya sesama alumni Ampel yang berada di jawa tengah diantaranya adalah Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, dan Sunan Murio. Mereka diajak bicara tentang gagasan Sunan Giri yang ingin mendirikan Kerajaan Giri untuk siasat memperkuat eksistensi Demak dan untuk siasat menangkal orang - orang asing yang ingin menduduki pelabuhan Gresik. Sementara Sunan Giri sedang menemui Sunan Drajat di Lamongan dengan tujuan yang sama. Orang - Orang Lamongan juga telah disiapkan untuk memperkuat sektor niaga di pelabuhan gresik.
Hingga pada waktu yang direncanakan akhirnya Makhdum Ibrahim bersama para alumni ampel itu menghadap Raden Patah untuk menyampaikan gagasan tersebut. Raden Patah pun setuju dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, serta melihat kemampuan dan kesenioran Sunan Giri yang bisa dipercaya akan mampu menjalankan siasat politik tersebut. Akhirnya tepat pada 9 maret 1487 masehi Raden Patah dan rombongannya yang sudah berada di kediaman Sunan Giri (di Dalemwetan) mengajak Sunan Giri dan semua rombongannya itu untuk menuju puncak bukit Giri yang diatasnya terdapat masjid. Di masjid itulah Raden Patah memberikan restu kepada Sunan Giri untuk mengumumkan berdirinya Kerajaan Giri yang independen memiliki struktur kerajaan dan wilayah kerajaan sendiri. Hal demikian itu dilakukan oleh Raden Patah tentu saja setelah ada komitmen politik yang telah disepakati oleh dua tokoh besar itu yaitu Raden Patah dan Sunan Giri. Apalagi keduanya adalah sahabat lama yang sama - sama pernah nyantri di pesantren Sunan Ampel. Kerajaan yang didirikan oleh Sunan Giri itu diberi nama Kerajaan Giri. Puncak bukit Giri yang dijadikan istana itu diberi nama Kedaton. Lalu Raden Patah menganugerahkan gelar Prabu Satmoto kepada Sunan Giri. Dan ada Raja Hitu yang ikut hadir di kedaton saat itu juga telah menganugerahkan gelar Raja dari Bukit Giri kepada Sunan Giri.
Pada usia 44 tahun Sunan Giri mulai menjadi Raja di bukit Giri. Tanggung jawab yang ia pikul semakin berat dan tantangan yang ia hadapi semakin besar. Meskipun demikian Sunan Giri mampu menjalaninya dan cukup teruji dalam mengatasi berbagai persoalan yang ia hadapi. Suatu hari ia dihadapkan pada persoalan yang membelit syeh Sidi Jenar. Sidi Jenar dianggap sesat oleh sebagian pengasuh ilmu agama Islam di jawa karena faham theologi tasawufnya yang kontraversial. Bahkan ada yang menilai syeh Sidi Jenar itu telah musyrik. Akan tetapi Sunan Giri bersikap tenang dalam menanggapi polemik soal faham theologi tasawuf yang dianut oleh tokoh Islam dari jepara itu. Lantas Sunan Giri memanggilnya agar ia datang ke Giri. Sunan Giri ingin bisa bertabayyun (klarifikasi) kepadanya. Saat syeh Sidi Jenar sedang menghadap Sunan Giri di masjid kedaton maka Sunan Giri langsung mengajaknya berdialog dan mengklarifikasi seputar faham theologi tasawufnya yang menghebohkan itu. Faham itu oleh Sunan Giri dinilai rawan pada aspek penerapan konsep ihsan dalam ilmu tasawuf. Ihsan yang didefinisikan seolah bisa melihat Tuhan itu telah divisualisasikan oleh Sidi Jenar seolah ia tak pernah melihat dirinya. Sehingga saat ada orang memanggil dirinya maka ia menjawab bahwa saya tidak ada dan yang ada hanya Allah. Akhirnya ia jadi salah kaprah dalam berujar ketika orang tersebut bilang sedang ingin berjumpa dengan Allah maka Sidi Jenar langsung menjawab ya Allah ada disini. Selanjutnya Sunan Giri mengumumkan kepada khalayak bahwa syeh Sidi Jenar itu kafir 'indan-nas bal mu'min 'indalloh, artinya bahwa ia secara kasad mata bisa dianggap kafir tapi secara ma'rifatulloh ia tetap mu'min. Sehingga Sidi Jenar tidak perlu dihukum. Namun sejak itu pun Sunan Giri berpesan kepada syeh Sidi Jenar agar fahamnya itu dipakai untuk diri sendiri dan tidak disebarkan ke masyarakat umum. Itulah salah satu contoh sikap bijaksana dan sikap intelektual Sunan Giri saat menjadi pemimpin umat.
10. Membuat Tata Ruang Strategis
Coolias Wood dan Max Weber melihat keberadaan suatu tata kelola pemerintahan tempo doeloe dengan 4 hal berikut ini :
Istilah toponim yang lebih populer dipakai dalam tulisan sejarah itu bisa diganti dengan istilah tata ruang wilayah untuk menyesuaikan trend jaman now. Tata ruang wilayah itu telah dibuat oleh Sunan Giri dengan desain struktur pengembangan yang meliputi :
Tata ruang wilayah yang tergambar dalam beberapa toponim tempo doeloe yang bisa digali oleh para peneliti sejarah sebenarnya sangat menarik untuk dijadikan prasasti ruang dan nama yang dicagar-budayakan sebagai warisan pusaka kota bagi masyarakat Gresik di jaman now ini. Bahkan hingga kini secara natural beberapa toponim yang dibuat oleh Sunan Giri pada abad 16 itu masih tidak diubah oleh masyarakat kekinian meskipun nama - nama tempat itu tidak dipahami makna historinya oleh masyarakat. Kecuali toponim ibukota kerajaan. Toponim itu sudah diubah dan dikaburkan tata letaknya oleh peta kretek buatan Belanda. Dalam peta itu Kota Lama di Giri yang di dalamnya ada istana kerajaan dan pemukiman inti diberi nama baru yaitu sidomukti . Sedangkan tempat baru yang mulai jadi perkampungan sejak abad ke-17 ratusan tahun sesudah Sunan Giri wafat justru dalam peta buatan oknum Belanda itu ditulis Giri. Sehingga bisa membuat pak pos salah alamat saat sedang mengantarkan surat ke alamat kantor Keerajaan Giri. Sebab nama Giri yang menjadi kantor pusat kerajaan itu sudah diganti dengan nama Sidomukti. Dan denah Giri itu telah ditulis oleh oknum Belanda di suatu tempat yang bukan kantor pusat kerajaan Giri. Pak Pos pun akan berkata bahwa peristiwa itu seperti lagunya Ayu Ting Ting yang berjudul alamat palsu. Maka bila dilihat pada petagrafi tentang nama desa yg telah dibuat oleh oknum Belanda itu berarti kerajaan yang didirikan oleh Sunan Giri tersebut akan berubah nama menjadi Kerajaan Sidomukti. Peristiwa itulah yang pada kemudian hari disebut orang sebagai Politik Belanda. Kompeni itu memang ahli memutar-balikkan fakta melalui cara - cara yang halus (: politik) namun juga mencerdaskan.
Gambaran detail tata tuang yang dibuat oleh Sunan Giri pada saat itu sesuai dengan jamannya hanya terbatas pada strategi pola pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis saja. Struktur ruang wilayah yang ia buat memang tidak sedetil yang dibuat oleh pemerintah sekarang yang jauh lebih moderen sebab berbagai fasilitas telah tersedia, terutama pada ketersediaan tehnologi antara jaman jadul itu dengan jaman now sangat jauh berbeda melebihi jarak antara anyer dan jakarta. Olehkarena itu maka Sunan Giri hanya mampu membuat struktur ruang wilayah istana dan pedukuhan, dengan sistem jaringan prasarananya yang terbatas pula. Hal itu bisa dilihat pada toponim kedhaton (istana Sang Dato atau Raja) dan dalem wetan ( : rumah timur dan pendopo bagi Raja dan keluarganya), serta topinim pedukuhan yang menunjukkan struktur wilayah pemukiman lindung karena berdekatan dengan istana.
Sunan Giri yang saat itu sedang dihadapkan pada tantangan yang cukup besar, baik berupa ancaman keamanan dari sisa - sisa petinggi Majapahit seperti girindra wardhana dan bhre kerthabumi yang masih eksis melanjutkan manuver politiknya, juga ada ancaman asing dari para pelaut Portugis dan Belanda yang terus mengincar potensi kepelabuhanan di Gresik, maka semua ancaman itu telah membuat Sunan Giri semakin cerdas dalam memutar otak untuk menghadapi semuanya. Sunan Giri menjawab berbagai ancaman itu dengan menciptakan pola pemanfatan ruang kawasan strategis yang ditujukan untuk mengoptimalkan pengembangan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Gresik dan untuk mengcounter manuver - manuver dari para pelakor yang berpotensi menggoyahkan eksistensi kerajaan Giri.
Pada abad 16 itu Sunan Giri telah membuat kawasan strategis bernama Bandaran. Kawasan itu merupakan kawasan khusus para pelaut dan pengusaha maritim di Gresik yang memiliki kapal niaga dan bermarkas di bandar Brug sebutan untuk pelabuhan Gresik pada jaman itu. Tidak jauh dari kawasan itu dibangun kawasan Bedilan yang dijadikan markas prajurit pemukul bila ada serangan dari para pelakor yang ingin menduduki pelabuhan Gresik. Sebab pelabuhan Malaka pada saat itu sudah bisa dikuasai oleh para pelakor dari portugis. Lalu Sunan Giri juga membangun kawasan bernama Lumpur yaitu sebuah kawasan terminal untuk barang dan para kuli bongkar muat. Orang - Orang Gresik pada masa itu bila ingin mencari barang - barang yang dibawa oleh kapal (:barang kapalan) atau butuh kuli bongkar muat maka cukup datang ke kawasan lumpur itu sudah tersedia semua. Sebab barang apa saja yang datang dari kapal akan ngelumpur (:bercampur aduk) disitu. Kata ngelumpur bagi orang gresik tempo doeloe identik dengan kata ngelemproh yang artinya duduk rileks seenaknya. Nah pada era itu lumpur juga menjadi tempat ngelemprohnya (:mangkalnya) para kuli bongkar muat di Gresik.
Sunan Giri dalam membangun Kawasan strategis bidang pertahanan dan keamanan menggunakan strategi markas yang terbagi dalam beberapa titik strategis. Selain toponim bedilan yang berada di zona yang berdekatan dengan pelabuhan gresik juga ada Singosari yang merupakan basecamp para prajurit yang digambarkan telah menguasai beladiri singo (buru sergap) yang siap menyergap sasaran targetnya. Juga ada kawasan Tambak Boyo yang merupakan markas pasukan khusus (intelijen), berfsik kuat, dan bisa berlaga di air maupun di darat bak buaya danau yang cool itu. Pasukan ini disiapkan untuk pengamanan istana guna menjaga wilayah inti yaitu wilayah istana dan pemukiman keluarga Raja. Panglima pasukan di Tambak Boyo itu bernama Mbah Jurit.
Kawasan perkebunan dan peternakan (:pekarangan) juga dibangun pada jaman Sunan Giri itu di beberapa titik lokasi. Ada karang bolet untuk perkebunan ubi, karang poh untuk kebun mangga, karang turi untuk kebun sayur - mayur, karang anyar untuk kebun tanaman - tanaman jenis baru, dan karang kiring merupakan lahan kering untuk peternakan unggas. Sedangkan kawasan untuk budidaya lebah penghasil madu ditempatkan oleh Sunan Giri di lereng gunung wurung dengan nama Segoro Madu. Untuk kawasan budidaya ikan bandeng, Sunan Giri masih mempertahankan Mengare sebagai kawasan tambak yang pernah dikelola oleh petinggi Majapahit bernama Patih Tambak. Sekitar tahun 1387 masehi kawasan itu menjadi pekarangan (:penangkaran) ikan bandeng kawak yang super . Sehingga mengare pada abad 14 itu diberi nama karang bogem sebab bandeng dari mengare itu rata - rata berbodi jumbo dan kepalanya se-bogem (: seukuran kepalan tangan orang mengare yang gedhe). Selanjutnya Sunan Giri juga membuat kawasan minapadi yang ditempatkan di suatu areal bernama Tambak Beras lokasinya berada tidak jauh dari perkebunan pohon cerme yang berada di kawasan bernama cerme lor kidul.
Sebagai ganti kurma arab yang pada masa itu sulit dicari di pasar buah maka Sunan Giri membuat program perkebunan pohon sawo kecik , buah sawonya oval kecil menyerupai buah kurma. Kawasan budidaya pohon serupa kurma itu ditempatkan oleh Sunan Giri di lereng barat Gunung Bhatang yang diberi nama Kampoeng Sawo. Pohon -Pohon sawo disitu rasa buahnya manis legit semanis gulo, sangat rempong dan bergumantungan (:bergelantungan) diatas ranting - ranting pohonya, lalu orang - orang jaman itu mengistilakannya denga gulo mantung. Sekarang kampoeng sawo itu berubah nama menjadi kelurahan gulo mantung. Analisis toponim tersebut memakai pedekatan teori ilmu gathuk mathuk (: ilmu menghubungkan nama dengan peristiwa dan cocok). Sedangkan perkebunan khusus untuk rempah - rempah dan tanaman khusus lainnya ditempatkan di kawasan yang bernama kebon dalem. Kebon Dalem itu dipagar rapat dengan pagar bambu melingkar hingga menyerupai perumahan (:dalem).
Kawasan perkebunan kota itu juga didukung oleh sistem pengembangan infrastrukturnya berupa pembuatan telaga yang cukup banyak duantaranya adalah : Telogo Pegat, telogo pomben, telogo segaran, telogo pati, telogo dahar, telogo jogo tamu, telogo dendo, telogo patut, dll.
Toponim lain yang terdapat di lingkungan yang tidak jauh dari istana adalah toponim jeraganan yang diasumsikan sebagai kantor perdagangan yang dikelola oleh staf kerajaan. Toponim jeragan itu berada di barat telaga pegat. Dan yang berada di timur telaga pegat ada toponim bernama Patirman yang diasumsikan sebagai kantor pajak/upeti yang dikelola oleh kerajaan. Lalu ada toponim bernama pandeyan yang diasumsikan sebagai sentra pande besi dan pengrajin logam yang dikelola oleh kerajaan. Tak jauh dari kawasan Tambak Boyo ada toponim bernama cumpleng merupakan tempat pembuatan keris dan senjata prajurit seperti tumbak dan pedang. Konon empu supo sering berada di cumpleng itu karena diminta oleh Sunan Giri untuk mengajarkan cara membuat keris pusaka kepada para pembuat senjata di Kerajaan Giri.
Lalu bagaimana dengan aloen aloen giri pada jaman itu? Sunan Giri membuat sebuah aloen aloen yang bentuknya unik sehingga aloen aloen itu diberi nama aloen aloen chontong sebuah aloen aloen yang berbentuk piramida / segitiga, hampir sama dengan bentuk piramida pada relif bawah watu gilang yang menancap di tanah, sebuah batu bermuka persegi selebar sajadah yang posisinya searah kiblat, pada jaman dulu terletak di sisi selatan logo segaran sebuah telaga pribadi milik Sunan Giri yang digunakan untuk mandi dan kegiatan lainnya bersama keluarga. Sunan Giri terbiasa melakukan sholat dhuha diatas Watu Gilang itu. Namun batu itu sekarang sudah berpindah tempat sejak tahun 2010 dan ditempatkan di musholla komplek perumahan Andalusia Regency untuk tujuan penyelamatan aset purbakala tersebut. Selain toponim diatas masih ada toponim di sekitar istana kerajaan yaitu toponim pasar gedhe. Tampaknya Sunan Giri lebih mengutamakan ruang pasar daripada ruang untuk aloen aloen. Sehingga yang besar adalah pasarnya.
Dari sekian toponim yang ada itu sesungguhnya ruang utamanya ada di puncak kedhaton. Disitu ada Masjid Kedhaton dan Pelinggihan. Masjid Kedahaton merupakan ruang untuk simbol kegiatan keagamaan dan simbol kaderisasi santri. Dan pelinggihan itu merupakan ruang pribadi Sunan Giri yang menjadi simbol kekuasaan. Keduanya oleh Sunan Giri ditempatkan di tempat yang paling tinggi. Artinya bahwa tata ruang itu bisa menjelaskan alur strategi yang dibangun pada saat itu, bahwa untuk membangun kekuasaan yang tinggi maka kekuatan agama dan kekuatan kaderisasi santri merupakan basis kekuatan yang paling dominan. Sunan Giri membangun kedaulatan rakyat di kerajaan Giri itu melalui jumlah santri yang telah didoktrin dan dilatih. Hampir semua penduduk asli dijadikan santri bagi pesantren Giri. Ditambah lagi para santri yang berdatangan dari daerah - daerah jawa tengah, daerah pasundan jawa barat, dan sebagian lagi dari madura, lombok, bahkan luar pulau, semuanya itu dimukimkan oleh Sunan Giri sebagai warga kampung di kawasan pemukiman giri. Akhirnya kerajaan giri itu menjadi kerajaan yang kuat karena Sunan Giri bisa menciptakan kedaulatan rakyat yang berbasis masyarakat. Hal ini digambarkan oleh peristiwa adu kesaktian (baca : kecerdasan) antara begawan Minto Semeru dengan Sunan Giri di gunung patirman. Saat begawan Minto Semeru melempar keatas kopyah mahkotanya maka Sunan Giri melemparkan ketiplaknya (: sandal bakia) keatas pula. Terjadilah duel kopyah mahkota itu dengan ketiplak Sunan Giri, hingga akhirnya keduanya jatuh ke tanah dengan posisi kopyah mahkota itu lemas tak berdaya tertindih oleh ketiplak Sunan Giri. Hal itu dapat diartikan bahwa Sunan Giri yang berpihak pada rakyat kecil / masyarakat bawah sebagaimana dilambangkan dengan ketiplak itu akan bisa mengungguli raja - raja congkak yang hanya membela kaum elit sebagaimana dilambangkan dengan kopyah mahkota.
Selanjutnya terjadi adu kesaktian lagi. Kali ini begawan Minto Semeru mengubur hidup - hidup dua ekor angsa. Sunan Giri disuruh menebak hewan apa yang telah dikuburkan itu? Sunan Giri menjawab ular, dan ternyata setelah digali muncullah dua ekor ular berbisa. Artinya bahwa saat menjadi kaum elit jangan suka mengubur kaum lemah yaitu angsa yang hanya mampu berkoar - koar tapi ia tak bertaring dan tak berbisa. Apalagi kaum elit yang sedang berkuasa janganlah membinasakan kaum lemah meskipun mereka sedang berteriak - teriak. Bila sampai mereka dimusnahkan maka yang muncul nanti adalah ular berbisa yang bisa menggigit dengan desisannya yang mematikan meskipun suaranya tak sekeras suara angsa. Maka ular berbisa itu adalah orang - orang yang suka berada di dekat raja namun mereka suka memfitnah dan mengadu domba.
10. Membuat Tata Ruang Strategis
Coolias Wood dan Max Weber melihat keberadaan suatu tata kelola pemerintahan tempo doeloe dengan 4 hal berikut ini :
- Tata kota;
- Prajurit;
- Pendidikan untuk masyarakat;
- Seni Budaya;
Istilah toponim yang lebih populer dipakai dalam tulisan sejarah itu bisa diganti dengan istilah tata ruang wilayah untuk menyesuaikan trend jaman now. Tata ruang wilayah itu telah dibuat oleh Sunan Giri dengan desain struktur pengembangan yang meliputi :
- sistem istana dan pemukiman raja;
- sistem pemukiman penduduk;
- sistem infrastruktur potensial;
Tata ruang wilayah yang tergambar dalam beberapa toponim tempo doeloe yang bisa digali oleh para peneliti sejarah sebenarnya sangat menarik untuk dijadikan prasasti ruang dan nama yang dicagar-budayakan sebagai warisan pusaka kota bagi masyarakat Gresik di jaman now ini. Bahkan hingga kini secara natural beberapa toponim yang dibuat oleh Sunan Giri pada abad 16 itu masih tidak diubah oleh masyarakat kekinian meskipun nama - nama tempat itu tidak dipahami makna historinya oleh masyarakat. Kecuali toponim ibukota kerajaan. Toponim itu sudah diubah dan dikaburkan tata letaknya oleh peta kretek buatan Belanda. Dalam peta itu Kota Lama di Giri yang di dalamnya ada istana kerajaan dan pemukiman inti diberi nama baru yaitu sidomukti . Sedangkan tempat baru yang mulai jadi perkampungan sejak abad ke-17 ratusan tahun sesudah Sunan Giri wafat justru dalam peta buatan oknum Belanda itu ditulis Giri. Sehingga bisa membuat pak pos salah alamat saat sedang mengantarkan surat ke alamat kantor Keerajaan Giri. Sebab nama Giri yang menjadi kantor pusat kerajaan itu sudah diganti dengan nama Sidomukti. Dan denah Giri itu telah ditulis oleh oknum Belanda di suatu tempat yang bukan kantor pusat kerajaan Giri. Pak Pos pun akan berkata bahwa peristiwa itu seperti lagunya Ayu Ting Ting yang berjudul alamat palsu. Maka bila dilihat pada petagrafi tentang nama desa yg telah dibuat oleh oknum Belanda itu berarti kerajaan yang didirikan oleh Sunan Giri tersebut akan berubah nama menjadi Kerajaan Sidomukti. Peristiwa itulah yang pada kemudian hari disebut orang sebagai Politik Belanda. Kompeni itu memang ahli memutar-balikkan fakta melalui cara - cara yang halus (: politik) namun juga mencerdaskan.
Gambaran detail tata tuang yang dibuat oleh Sunan Giri pada saat itu sesuai dengan jamannya hanya terbatas pada strategi pola pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis saja. Struktur ruang wilayah yang ia buat memang tidak sedetil yang dibuat oleh pemerintah sekarang yang jauh lebih moderen sebab berbagai fasilitas telah tersedia, terutama pada ketersediaan tehnologi antara jaman jadul itu dengan jaman now sangat jauh berbeda melebihi jarak antara anyer dan jakarta. Olehkarena itu maka Sunan Giri hanya mampu membuat struktur ruang wilayah istana dan pedukuhan, dengan sistem jaringan prasarananya yang terbatas pula. Hal itu bisa dilihat pada toponim kedhaton (istana Sang Dato atau Raja) dan dalem wetan ( : rumah timur dan pendopo bagi Raja dan keluarganya), serta topinim pedukuhan yang menunjukkan struktur wilayah pemukiman lindung karena berdekatan dengan istana.
Sunan Giri yang saat itu sedang dihadapkan pada tantangan yang cukup besar, baik berupa ancaman keamanan dari sisa - sisa petinggi Majapahit seperti girindra wardhana dan bhre kerthabumi yang masih eksis melanjutkan manuver politiknya, juga ada ancaman asing dari para pelaut Portugis dan Belanda yang terus mengincar potensi kepelabuhanan di Gresik, maka semua ancaman itu telah membuat Sunan Giri semakin cerdas dalam memutar otak untuk menghadapi semuanya. Sunan Giri menjawab berbagai ancaman itu dengan menciptakan pola pemanfatan ruang kawasan strategis yang ditujukan untuk mengoptimalkan pengembangan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Gresik dan untuk mengcounter manuver - manuver dari para pelakor yang berpotensi menggoyahkan eksistensi kerajaan Giri.
Pada abad 16 itu Sunan Giri telah membuat kawasan strategis bernama Bandaran. Kawasan itu merupakan kawasan khusus para pelaut dan pengusaha maritim di Gresik yang memiliki kapal niaga dan bermarkas di bandar Brug sebutan untuk pelabuhan Gresik pada jaman itu. Tidak jauh dari kawasan itu dibangun kawasan Bedilan yang dijadikan markas prajurit pemukul bila ada serangan dari para pelakor yang ingin menduduki pelabuhan Gresik. Sebab pelabuhan Malaka pada saat itu sudah bisa dikuasai oleh para pelakor dari portugis. Lalu Sunan Giri juga membangun kawasan bernama Lumpur yaitu sebuah kawasan terminal untuk barang dan para kuli bongkar muat. Orang - Orang Gresik pada masa itu bila ingin mencari barang - barang yang dibawa oleh kapal (:barang kapalan) atau butuh kuli bongkar muat maka cukup datang ke kawasan lumpur itu sudah tersedia semua. Sebab barang apa saja yang datang dari kapal akan ngelumpur (:bercampur aduk) disitu. Kata ngelumpur bagi orang gresik tempo doeloe identik dengan kata ngelemproh yang artinya duduk rileks seenaknya. Nah pada era itu lumpur juga menjadi tempat ngelemprohnya (:mangkalnya) para kuli bongkar muat di Gresik.
Sunan Giri dalam membangun Kawasan strategis bidang pertahanan dan keamanan menggunakan strategi markas yang terbagi dalam beberapa titik strategis. Selain toponim bedilan yang berada di zona yang berdekatan dengan pelabuhan gresik juga ada Singosari yang merupakan basecamp para prajurit yang digambarkan telah menguasai beladiri singo (buru sergap) yang siap menyergap sasaran targetnya. Juga ada kawasan Tambak Boyo yang merupakan markas pasukan khusus (intelijen), berfsik kuat, dan bisa berlaga di air maupun di darat bak buaya danau yang cool itu. Pasukan ini disiapkan untuk pengamanan istana guna menjaga wilayah inti yaitu wilayah istana dan pemukiman keluarga Raja. Panglima pasukan di Tambak Boyo itu bernama Mbah Jurit.
Kawasan perkebunan dan peternakan (:pekarangan) juga dibangun pada jaman Sunan Giri itu di beberapa titik lokasi. Ada karang bolet untuk perkebunan ubi, karang poh untuk kebun mangga, karang turi untuk kebun sayur - mayur, karang anyar untuk kebun tanaman - tanaman jenis baru, dan karang kiring merupakan lahan kering untuk peternakan unggas. Sedangkan kawasan untuk budidaya lebah penghasil madu ditempatkan oleh Sunan Giri di lereng gunung wurung dengan nama Segoro Madu. Untuk kawasan budidaya ikan bandeng, Sunan Giri masih mempertahankan Mengare sebagai kawasan tambak yang pernah dikelola oleh petinggi Majapahit bernama Patih Tambak. Sekitar tahun 1387 masehi kawasan itu menjadi pekarangan (:penangkaran) ikan bandeng kawak yang super . Sehingga mengare pada abad 14 itu diberi nama karang bogem sebab bandeng dari mengare itu rata - rata berbodi jumbo dan kepalanya se-bogem (: seukuran kepalan tangan orang mengare yang gedhe). Selanjutnya Sunan Giri juga membuat kawasan minapadi yang ditempatkan di suatu areal bernama Tambak Beras lokasinya berada tidak jauh dari perkebunan pohon cerme yang berada di kawasan bernama cerme lor kidul.
Sebagai ganti kurma arab yang pada masa itu sulit dicari di pasar buah maka Sunan Giri membuat program perkebunan pohon sawo kecik , buah sawonya oval kecil menyerupai buah kurma. Kawasan budidaya pohon serupa kurma itu ditempatkan oleh Sunan Giri di lereng barat Gunung Bhatang yang diberi nama Kampoeng Sawo. Pohon -Pohon sawo disitu rasa buahnya manis legit semanis gulo, sangat rempong dan bergumantungan (:bergelantungan) diatas ranting - ranting pohonya, lalu orang - orang jaman itu mengistilakannya denga gulo mantung. Sekarang kampoeng sawo itu berubah nama menjadi kelurahan gulo mantung. Analisis toponim tersebut memakai pedekatan teori ilmu gathuk mathuk (: ilmu menghubungkan nama dengan peristiwa dan cocok). Sedangkan perkebunan khusus untuk rempah - rempah dan tanaman khusus lainnya ditempatkan di kawasan yang bernama kebon dalem. Kebon Dalem itu dipagar rapat dengan pagar bambu melingkar hingga menyerupai perumahan (:dalem).
Kawasan perkebunan kota itu juga didukung oleh sistem pengembangan infrastrukturnya berupa pembuatan telaga yang cukup banyak duantaranya adalah : Telogo Pegat, telogo pomben, telogo segaran, telogo pati, telogo dahar, telogo jogo tamu, telogo dendo, telogo patut, dll.
Toponim lain yang terdapat di lingkungan yang tidak jauh dari istana adalah toponim jeraganan yang diasumsikan sebagai kantor perdagangan yang dikelola oleh staf kerajaan. Toponim jeragan itu berada di barat telaga pegat. Dan yang berada di timur telaga pegat ada toponim bernama Patirman yang diasumsikan sebagai kantor pajak/upeti yang dikelola oleh kerajaan. Lalu ada toponim bernama pandeyan yang diasumsikan sebagai sentra pande besi dan pengrajin logam yang dikelola oleh kerajaan. Tak jauh dari kawasan Tambak Boyo ada toponim bernama cumpleng merupakan tempat pembuatan keris dan senjata prajurit seperti tumbak dan pedang. Konon empu supo sering berada di cumpleng itu karena diminta oleh Sunan Giri untuk mengajarkan cara membuat keris pusaka kepada para pembuat senjata di Kerajaan Giri.
Lalu bagaimana dengan aloen aloen giri pada jaman itu? Sunan Giri membuat sebuah aloen aloen yang bentuknya unik sehingga aloen aloen itu diberi nama aloen aloen chontong sebuah aloen aloen yang berbentuk piramida / segitiga, hampir sama dengan bentuk piramida pada relif bawah watu gilang yang menancap di tanah, sebuah batu bermuka persegi selebar sajadah yang posisinya searah kiblat, pada jaman dulu terletak di sisi selatan logo segaran sebuah telaga pribadi milik Sunan Giri yang digunakan untuk mandi dan kegiatan lainnya bersama keluarga. Sunan Giri terbiasa melakukan sholat dhuha diatas Watu Gilang itu. Namun batu itu sekarang sudah berpindah tempat sejak tahun 2010 dan ditempatkan di musholla komplek perumahan Andalusia Regency untuk tujuan penyelamatan aset purbakala tersebut. Selain toponim diatas masih ada toponim di sekitar istana kerajaan yaitu toponim pasar gedhe. Tampaknya Sunan Giri lebih mengutamakan ruang pasar daripada ruang untuk aloen aloen. Sehingga yang besar adalah pasarnya.
Dari sekian toponim yang ada itu sesungguhnya ruang utamanya ada di puncak kedhaton. Disitu ada Masjid Kedhaton dan Pelinggihan. Masjid Kedahaton merupakan ruang untuk simbol kegiatan keagamaan dan simbol kaderisasi santri. Dan pelinggihan itu merupakan ruang pribadi Sunan Giri yang menjadi simbol kekuasaan. Keduanya oleh Sunan Giri ditempatkan di tempat yang paling tinggi. Artinya bahwa tata ruang itu bisa menjelaskan alur strategi yang dibangun pada saat itu, bahwa untuk membangun kekuasaan yang tinggi maka kekuatan agama dan kekuatan kaderisasi santri merupakan basis kekuatan yang paling dominan. Sunan Giri membangun kedaulatan rakyat di kerajaan Giri itu melalui jumlah santri yang telah didoktrin dan dilatih. Hampir semua penduduk asli dijadikan santri bagi pesantren Giri. Ditambah lagi para santri yang berdatangan dari daerah - daerah jawa tengah, daerah pasundan jawa barat, dan sebagian lagi dari madura, lombok, bahkan luar pulau, semuanya itu dimukimkan oleh Sunan Giri sebagai warga kampung di kawasan pemukiman giri. Akhirnya kerajaan giri itu menjadi kerajaan yang kuat karena Sunan Giri bisa menciptakan kedaulatan rakyat yang berbasis masyarakat. Hal ini digambarkan oleh peristiwa adu kesaktian (baca : kecerdasan) antara begawan Minto Semeru dengan Sunan Giri di gunung patirman. Saat begawan Minto Semeru melempar keatas kopyah mahkotanya maka Sunan Giri melemparkan ketiplaknya (: sandal bakia) keatas pula. Terjadilah duel kopyah mahkota itu dengan ketiplak Sunan Giri, hingga akhirnya keduanya jatuh ke tanah dengan posisi kopyah mahkota itu lemas tak berdaya tertindih oleh ketiplak Sunan Giri. Hal itu dapat diartikan bahwa Sunan Giri yang berpihak pada rakyat kecil / masyarakat bawah sebagaimana dilambangkan dengan ketiplak itu akan bisa mengungguli raja - raja congkak yang hanya membela kaum elit sebagaimana dilambangkan dengan kopyah mahkota.
Selanjutnya terjadi adu kesaktian lagi. Kali ini begawan Minto Semeru mengubur hidup - hidup dua ekor angsa. Sunan Giri disuruh menebak hewan apa yang telah dikuburkan itu? Sunan Giri menjawab ular, dan ternyata setelah digali muncullah dua ekor ular berbisa. Artinya bahwa saat menjadi kaum elit jangan suka mengubur kaum lemah yaitu angsa yang hanya mampu berkoar - koar tapi ia tak bertaring dan tak berbisa. Apalagi kaum elit yang sedang berkuasa janganlah membinasakan kaum lemah meskipun mereka sedang berteriak - teriak. Bila sampai mereka dimusnahkan maka yang muncul nanti adalah ular berbisa yang bisa menggigit dengan desisannya yang mematikan meskipun suaranya tak sekeras suara angsa. Maka ular berbisa itu adalah orang - orang yang suka berada di dekat raja namun mereka suka memfitnah dan mengadu domba.
Adu kesaktian berikutnya begawan Minto Semeru sedang menyusun tujuh butir telur secara berundak. Lalu Sunan Giri mengambilnya satu persatu secara perlahan dari telur yang paling bawah tanpa telur - telur datasnya itu berjatuhan. Artinya bahwa membangun apapun di dunia itu mudah, namun untuk mempertahankannya agar tidak runtuh itu sulit, karena membutuhkan kehati - hatian yang dilambangkan dengan gerak tangan Sunan Giri yang perlahan. Hingga adu kesaktian yang terakhir, sebuah mangkuk berisi air dilempar keatas oleh begawan Minto Semeru dengan airnya yang tidak tumpah, namun oleh Sunan Giri mangkuk berisi air itu berhasil ia pegang dan dialirkanlah airnya itu ke wajah Sunan Giri seperti ia sedang berwudhu. Artinya bahwa tidak perlu melakukan kegiatan yang tidak berguna, jangan memubazirkan apapun, apalagi mangkuk itu berisi air suci maka ambillah yang manfaat itu untuk kegiatan yang berguna.