4. Inspirasi Kepelabuhanan bagi Sunan Giri
Ketika jaman masih belum berbasis tehnologi, maka tidak ada pesawat dan helikopter. Juga belum ada kereta api. Bahkan mobil dan ojek pun juga tidak ada. Yang ada hanya cikar sebagai sarana transportasi darat. Moda transportasi andalannya hanya berupa perahu dan kapal layar. Terminalnya disebut bandar atau dermaga.
Salah satunya adalah dermaga leran dan jaratan (mengare). Dermaga itu dikelola oleh para kepercayaan majapahit sejak sebelum Malik Ibrahim dan Fatimah binti Maimun bermukim di gresik. Kedua tokoh Islam tempo doeloe itu memilih bermukim di sekitar manyar gresik dikarenakan daerah itu merupakan area dimana terdapat dermaga leran dan jaratan. Namun seiring dengan jaman yang terus bergeser maka bisa merubah potensi yang ada. Hingga dua dermaga tua itu tidak dioperasikan lagi pada masa Ageng Pinatih, dan aktifitas kepelabuhanan di Gresik pindah ke arah timur laut. Dermaga itu bernama pelabuhan brug yang menjadi dermaga pijakan (pancikan) bagi perniagaan Ageng Pinatih dan Sunan Giri pada abad 15 masehi.
Salah satunya adalah dermaga leran dan jaratan (mengare). Dermaga itu dikelola oleh para kepercayaan majapahit sejak sebelum Malik Ibrahim dan Fatimah binti Maimun bermukim di gresik. Kedua tokoh Islam tempo doeloe itu memilih bermukim di sekitar manyar gresik dikarenakan daerah itu merupakan area dimana terdapat dermaga leran dan jaratan. Namun seiring dengan jaman yang terus bergeser maka bisa merubah potensi yang ada. Hingga dua dermaga tua itu tidak dioperasikan lagi pada masa Ageng Pinatih, dan aktifitas kepelabuhanan di Gresik pindah ke arah timur laut. Dermaga itu bernama pelabuhan brug yang menjadi dermaga pijakan (pancikan) bagi perniagaan Ageng Pinatih dan Sunan Giri pada abad 15 masehi.
Di pelabuhan brug itu terdapat sebuah prasasti berupa jangkar kapal bertuliskan angka yang menunjukkan tahun 1389. Entah jangkar itu milik siapa. Sebab Ageng Pinatih mulai bermukim di pelabuhan Gresik pada tahun 1399 masehi. Diriwayatkan ia adalah china muslimah yang memiliki nama Salamah. Suaminya juga seorang etnis china bernama Abdullah dan sudah meninggal dunia di Kamboja. Ageng Pinatih itu anak dari Shih Jinqing yaitu seorang china yang diberi kepercayaan oleh Majapahit untuk menjadi penguasa pelabuhan di palembang.
Masih ingat dengan kehebatan para pelaut portugal yang menguasai pelabuhan Malaka sebagai pangkalan bisnis mereka. Pimpinannya bernama Alfonso de Albuquerque. Lalu ada Antonio de Albreu yang melanjutkan jelajahnya ke pesisir nusantara ini. Ia mendapat kabar dari para saudagar gujarat bahwa di Gresik ada pelabuhan niaga yang dikelola oleh wanita janda beretnis china. Yang dimaksudkan adalah nyai Ageng Pinatih. Akhirnya datanglah sekoci besar dari portugal ke pelabuhan brug dipimpin Antonio de Brito. Tujuannya ingin menguasai pelabuhan gresik itu untuk dijadikan pangkalan dagang bagi orang - orang portugal. Namun terbukti mereka akhirnya menggagalkan niatnya itu setelah bertemu dengan Ageng Pinatih. Ageng Pinatih meskipun seorang wanita namun memiliki kemampuan berdiplomasi secara tegas. Pantas ia bisa menjadi penguasa pelabuhan di Gresik pada jaman itu.
Kabar mengherankan tersebut juga didengar oleh para pelaut Belanda. Jacob van Humskerk datang membawa armada dagangnya ke pelabuhan brug. Ia penasaran dengan nyai Ageng Pinatih. Konon ia telah menyusun strategi komunikasi dengan menyiapkan cinderamata untuk Ageng Pinatih berupa cermin hias dari Belanda. Tentu saja mereka punya tujuan yang lebih besar tidak sekedar untuk jelajah samudra. Namun lebih dari itu ada tujuan dagang. Yang diincar oleh orang - orang Belanda itu tidak lain adalah buah surga dari wilayah nusantara ini. Buah surga adalah sebutan lain untuk rempah - rempah Indonesia yang berharga mahal bila dijual di luar negri.
Sunan Giri kecil ikut menyaksikan itu semua sebagai pembelajaran alami tentang ilmu perdagangan internasional. Ia banyak mendapatkan pelajaran dari sektor kepelabuhanan yang dikelola oleh ibunya. Sunan Giri kecil sudah sering menyaksikan transaksi jual beli diantara para saudagar transito (broker penggesek barang dagangan) di pelabuhan. Ia juga tahu bahwa mata uang yang beredar di pelabuhan gresik sebagai alat pembayaran pada masa itu adalah uang keping tiongkok. Rupiah belum ada. Maka sebagai anak semata wayang dari Ageng Pinatih tentu saja ia sangat leluasa dalam mengkapitalisasi daya inspiratifnya terkait pelabuhan brug yang jadi pangkalan dagang bagi jaringan niaga berskala besar. Apalagi ia sangat diuntungkan oleh keadaan yang berpihak kepadanya, sehingga bisa belajar lebih jauh dari kerajaan bisnis yang sedang dibangun oleh ibunya di kawasan pelabuhan gresik itu. Mumpung pada masa itu belum ada sekolah jurusan ekonomi, maka pelabuhan itulah yang menjadi sekolah ekonomi bagi Sunan Giri sejak kecil hingga dewasa.
Pasca Sunan Giri lulus dari mondoknya di pesantren Ampel Dento, tepatnya sekitar tahun 1462, ia mulai menekuni dunia usaha secara mandiri yang selama ini dibangun oleh Ageng Pinatih. Ia dengan kecerdasannya ternyata mampu mengoptimalkan pemanfaatan sarana kepelabuhanan di dermaga brug yang menjadi transit dan pusat bongkar muat barang itu sebagai inspirasi terbesarnya dalam mengembangkan dunia usaha. Bandar brug saat itu dibanjiri peredaran komoditi berupa emas dan permata dari tiongkok, rempah - rempah dari Maluku, kain sutra dan kain kasar dari India, lilin dan kayu cendana dari Nusa Tenggara, dll. Sunan Giri pun membaca potensi itu sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan menjadi benefitas bagi kehidupannya. Ia sering berlayar ke Banjarmasin dengan membawa komoditi - komoditi tersebut untuk dijual di Banjarmasin. Sebaliknya, Sunan Giri juga membawa beberapa komoditi dari Banjarmasih terutama kayu dan hasil tenun untuk dijual di Gresik. Dalam menjalankan usaha niaga itu Ia selalu mengajak Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Abu Hurairah agar capaian targetnya bisa maksimal. Ia pun tergolong pengusaha muda yang sukses pada jamannya.