5. Membangun Keluarga Sakinah
Usia remaja merupakan fase penting antara harapan dan tantangan bagi kehidupan Sunan Giri muda. Ia sedang dihadapkan pada era kedewasaan yang lebih bermakna. Kedewasaan untuk melihat kedepan sebagai masa dimana ia harus membangun keluarga mandiri yang sakinah. Jiwanya mulai terpanggil untuk memilih siapa wanita yang harus menjadi belahan jiwa. Bukan hanya untuk kebutuhan senang dan tentram (:sakinah) karena ada pendamping hidup, melainkan juga untuk memenuhi dimensi holistik dalam kehidupannya agar ia menjadi manusia yang mendekati sempurna (:insan kamil). Tapi ini bukan pernikahan dini, sebab pernikahan Sunan Giri dengan dua wanita itu sudah dipersiapkan dalam kemapanan jiwanya.
Ibunda Ageng Pinatih mulai merasakan kejenuhan melihat rutinitas perniagaan yang tak lagi menghibur, terutama bila Sunan Giri sedang tidak berada di rumah. Mungkin ia telah bosan melihat wajah dermaga yang tiap hari dipenuhi oleh hilir mudik para kuli kontrak dan orang - orang yang sedang bertransaksi di galangan kapal. Ia juga merasa sudah tua dan tidak memiliki daya seperti dulu, meskipun Sunan Giri muda itu bisa diandalkan sebagai wakil dirinya disaat ada kegiatan penting hingga ke luar daerah dan luar pulau. Namun masih ada satu hal yang terbesit dalam hatinya, ia ingin menimang cucu, dan itu artinya ia sedang menginginkan punya menantu untuk anak semata wayangnya. Harapan ini sudah berkali - kali ia sampaikan kepada Sunan Giri muda, dan hanya tinggal menunggu waktu kapan jodoh itu tiba.
Begitu pula dengan Sunan Ampel. Dalam usianya yang senja, ia mulai berfikir tentang generasi lanjutan yang harus dipersiapkan untuk mempertahankan eksistensi pesantren dari generasi keluarga. Ia sudah merencanakan sejak lama tentang masa depan Sunan Giri yang hendak ia jodohkan dengan anak tertuanya yang bernama Dewi Murtasiyah. Rupanya Sunan Ampel sedang menskenariokan pernikahan famili antara Sunan Giri sebagai kakak sepupu dengan Dewi Murtasiyah sebagai adik sepupu. Namun semua itu tinggal menunngu takdir Ilahi. Tuhan yang dituju, dan ridho-Nya yang dicari.
Suatu hari Sunan Giri muda bersilaturrahim ke pesantren Ampel. Ia sudah merindukan Sang Guru yang juga pamannya sendiri. Sunan Giri bersimpu menghadap Sunan Ampel. Pertemuan keduanya yang tak disangka - sangka itu akhirnya menjadi momentum penting bagi Sunan Ampel untuk menyampaikan keinginannya yang terpendam kepada Sunan Giri. Sunan Ampel menyampaikan bahwa selama ini ia tak berhenti berharap sambil memohon kepada Allah agar Sunan Giri berkenan ia jodohkan dengan Dewi Murtasiyah kakak kandung Makhdum Ibrahim yang selama ini membantu Sunan Giri dalam berbisnis. Sunan Giri sebagai remaja santri saat mendengarkan apa yang disampaikan oleh Sunan Ampel itu hanya bisa terdiam. Sesekali ia menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Hanya ia memohon waktu kepada Sunan Ampel agar ia terlebih dahulu menyampaikan hal itu kepada Ageng Pinatih selaku ibunya sebelum ditetapkan kapan hari nikahnya. Sebab ia pun sangat menjunjung tinggi ibu angkatnya itu seperti ibu kandungnya sendiri. Segala sesuatu yang ia akan lakukan tentu ia akan sampaikan terlebih dahulu kepada ibunda Ageng Pinatih.
Cerita ini masih dalam rangkaian Sunan Giri bersilaturrahim ke pesantren ampel tadi. Setelah berbincang - bincang dengan Sunan Ampel maka Sunan Giri pun ingin bermemori seperti saat dirinya masih mondok dulu. Ia juga ikut bersama para santri mandi jelang subuh di bantaran Kalimas yang pada saat itu airnya masih bersih dan jernih. Tiba - tiba Sunan Giri muda itu melihat ada benda sebesar bola kecil mengapung berjalan menghampirinya, lalu ia memegangnya. Benda sebesar bola kecil itu ternyata buah delima ukuran besar yang berwarna merah merekah kekuningan. Hingga ia membawanya ke pesantren ampel.
Lalu keesokannya beredar perbincangan di lingkungan pesantren tentang adanya beberapa orang utusan dari Sunan Bungkul yang sedang bertugas mencari buah delima yang hilang. Buah delima itu milik Dewi Wardah putri Kanjeng Sunan Bungkul. Konon buah delima itu memiliki keunikan yang ajaib. Entah sejauhmana tingkat kebenarannya apakah keyakinan seperti itu bagian dari fiksi atau fakta. Sebab dalam cerita tutur tempo doeloe diyakini ada permata mirah delima di dalam buah delima milik dewi wardah. Kabar berita yang menyebar itu akhirnya diperbicangkan Sunan Ampel dan Sunan Giri muda yang saat itu sedang berbincang sambil menunjukkan buah delima yang telah ditemukan oleh Sunan Giri saat mandi jelang subuh di Kalimas. Ternyata Sunan Ampel saat itu merasakan ada suatu firasat yang akan terjadi pada Sunan Giri melalui buah delima itu. Sebab Sunan Ampel meyakini jika buah delima yang ditemukan oleh Sunan Giri itu adalah buah delima milik putri Sunan Bungkul yang sedang dicari.
Kabar balik pun akhirnya beredar dan tembus ke dalam lingkungan rumah Kanjeng Sunan Bungkul bahwa ada santri Sunan Ampel yang telah menemukan buah delima itu. Sunan Bungkul yang mendengar kabar itu langsung bergegas menemui Sunan Ampel di pesantren. Terjadilah perbincangan di dalam bilik pesantren Ampel Dento antara Sunan Bungkul, Sunan Ampel, dan Sunan Giri muda. Ternyata memang benar bahwa buah delima yang ditemukan oleh Sunan Giri muda itu adalah buah delima milik Dewi Wardah. Namun demikian ada hal yang sangat mengejutkan dalam perbincangan berikutnya. Sunan Bungkul tanpa basa basi menyampaikan kepada Sunan Ampel bahwa ia ingin menjodohkan Dewi Wardah dengan Sunan Giri apabila Sunan Giri berkenan. Sesaat sempat terjadi ketertegunan dalam perbincangan itu. Sunan Ampel pada prinsipnya setuju dan menyerahkan keputusan kepada Sunan Giri. Namun Sunan Giri memberikan jawaban bahwa ia akan meminta restu kepada ibunya terkebih dahulu. Jawaban Sunan Giri itu mengisyaratkan bahwa sebenarnya ia juga setuju. Hingga akhirnya para pihak yang telah berbincang membahas perjodohan itu harus bersabar sejenak menunggu jawaban dari ibunda Ageng Pinatih.
Keesokan harinya Sunan Giri muda akhirnya mohon pamit kepada Sunan Ampel karena sudah waktunya ia harus kembali ke Gresik. Ia tidak berani terlalu lama meninggalkan ibunya yang sudah tua. Saat sudah berada di rumah, Sunan Giri menceritakan semua peristiwa dan perbincangan mengenai perjodohan saat berada di pondok itu kepada ibunya. Ternyata ibunya pun memberikan restu bila Sunan Giri akan menikah dengan dua wanita putri dari dua pembesar di Surabaya itu yaitu putri Sunan Ampel dan putri Sunan Bungkul. Sunan Giri pun sesaat harus menarik nafas meskipun ia bertekad siap menikah dengan dua putri terhormat itu. Sebab menikah adalah keputusan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Bagi Sunan Giri muda, menikah itu suatu bentuk ibadah sepanjang hayat yang sejak awal harus didasari sebagai sunnah rasul untuk dilaksanakan dengan ketulusan hati sesuai syariat Islam.
Akhir kisah, maka pada hari yang telah ditentukan dan telah disepakati oleh para pihak tersebut, akhirnya Sunan Giri bersama ibunda Ageng Pinatih dan rombongan dari Gresik ba'da subuh sudah siap dengan sekoci pribadi milik Ageng Pinatih berangkat menuju Ampel Dento . Ia telah siap melaksanakan prosesi pernikahannya dengan Dewi Murtasiyah binti Rahmatullah Sunan Ampel dan pernikahannya dengan Dewi Wardah binti Sunan Bungkul pada hari yang telah ditentukan itu di pesantren Ampel Dento. Hari pernikahannya sama dan dilaksanakan pada suatu tempat yang sama. Hanya saja ijab-qabulnya berbeda waktu. Pagi setengah siang ia diijab-qabulkan dengan Dewi Murtasiyah. Dan sore harinya ia diijab-qabulkan dengan Dewi Wardah. Prosesi pernikahannya berjalan lancar dengan disaksikan para tamu kolega dari tiga keluarga besar mereka dan para santri Ampel yang ikut memeriahkan. Semuanya itu bisa terjadi dan terlaksana karena memang sesuai dengan kemampuannya yang telah dipersiapkan, dan karena ada iradah Tuhan.